Berebut Daging Kurban Fakta Kemiskinan Tinggi

Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub (Tengah) memimpin Jalannya Takbir Akbar Nasional didampingi para ustadz dan kyai di Masjid Istiqlal Jakarta, Agustus lalu. (Antara)
"Tingginya tingkat kemiskinan tersebut merupakan masalah nasional yang perlu dihadapi bersama," kata Ali.
Fenomena berebut daging kurban di setiap hari Raya Idul Adha harus dicermati bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi.
"Rebutan dalam pembagian daging kurban sering menjadi potret tahunan yang kita saksikan. Namun, potret tersebut harus dicermati dengan baik sebab potret tersebut menunjukkan masih banyaknya orang miskin di Indonesia," kata Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, di Jakarta, Jumat (4/11).
"Tingginya tingkat kemiskinan tersebut merupakan masalah nasional yang perlu dihadapi bersama," kata Ali.
Pada Maret lalu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sebanyak 30.02 juta orang pada tahun 2011.
BPS menetapkan bahwa seseorang dikatakan sebagai orang miskin apabila mereka memiliki tingkat pengeluaran sebesar Rp 211,726 per bulan atau sekitar Rp 7,000 per hari.
Sedangkan Bank Dunia menetapkan bahwa seseorang dikatakan sebagai orang miskin apabila mereka memiliki penghasilan sebesar 2 USD per hari.
"Kriteria penduduk miskin yang ditetapkan oleh BPS sangatlah rendah sehingga jumlah penduduk miskin nampak sedikit. Padahal, apabila kita menggunakan kriteria miskin yang ditetapkan oleh Bank Dunia maka jumlah penduduk miskin di Indonesia sangat tinggi," tutur Ali.
Ibadah Sosial
Ali mengatakan bahwa untuk mengentaskan kemiskinan yang ada di tengah masyarakat, diperlukan keterlibatan masyarakat pada umumnya termasuk umat Islam sebab Islam merupakan agama yang mengedepankan ibadah sosial.
"Meskipun Nabi Muhammad memiliki kemampuan untuk naik haji tiga setiap tahun, beliau hanya melakukan satu kali saja sebab beliau lebih mengedepankan ibadah sosia. Beliau lebih memilih untuk berinfaq ribuan kali sebagai wujud ibadah sosial," jelasnya.
"Namun sayangnya, hal ini belum banyak ditiru oleh umat Islam karena mereka lebih banyak memilih untuk umroh dan naik haji berulang kali daripada mengentaskan kemiskinan." kata Ali.
Ali mengatakan bahwa peran serta ulama sangat diperlukan untuk mengubah sudut pandang tersebut.
"Ulama harus memberikan contoh tentang perilaku Nabi Muhammad terhadap umat Islam. Hal ini dikarenakan orang awam tidak dapat memahami langsung teks hadis atau Al-Quran." Jelas Ali.
"Perilaku Nabi Muhammad adalah berhaji satu kali namun berinfaq ribuan kali." Imbuhnya.
Lebih lanjut, Ali menuturkan bahwa tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak oknum ulama yang lebih mengejar kesalehan individual dengan berhaji berulang-ulang sementara potret kemiskinan ada di setiap sudut.
"Sekarang, banyak ulama yang memberikan contoh untuk mengejar kesalehan individual. Padahal Islam bukan agama yang demikian karena Islam lebih menekankan kesalehan sosial," ujarnya.
Ulama Komersial Perlu Dibina
Sementara itu, Ali mengatakan bahwa para ulama komersial yang akhir-akhir semakin marak muncul di berbagai media
"Ulama komersial tersebut sesungguhnya bukan seorang ulama karena seorang ulama hendaknya membimbing dan memberi contoh umat Islam untuk tidak mementingkan diri sendiri." Jelasnya.
"Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai seorang ulama memiliki kebutuhan pribadi yang perlu dipenuhi. Namun perilaku untuk menjual agama tidak dapat dibenarkan bahkan mereka perlu untuk dibina," imbuh Ali.
Fenomena berebut daging kurban di setiap hari Raya Idul Adha harus dicermati bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi.
"Rebutan dalam pembagian daging kurban sering menjadi potret tahunan yang kita saksikan. Namun, potret tersebut harus dicermati dengan baik sebab potret tersebut menunjukkan masih banyaknya orang miskin di Indonesia," kata Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal, di Jakarta, Jumat (4/11).
"Tingginya tingkat kemiskinan tersebut merupakan masalah nasional yang perlu dihadapi bersama," kata Ali.
Pada Maret lalu, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sebanyak 30.02 juta orang pada tahun 2011.
BPS menetapkan bahwa seseorang dikatakan sebagai orang miskin apabila mereka memiliki tingkat pengeluaran sebesar Rp 211,726 per bulan atau sekitar Rp 7,000 per hari.
Sedangkan Bank Dunia menetapkan bahwa seseorang dikatakan sebagai orang miskin apabila mereka memiliki penghasilan sebesar 2 USD per hari.
"Kriteria penduduk miskin yang ditetapkan oleh BPS sangatlah rendah sehingga jumlah penduduk miskin nampak sedikit. Padahal, apabila kita menggunakan kriteria miskin yang ditetapkan oleh Bank Dunia maka jumlah penduduk miskin di Indonesia sangat tinggi," tutur Ali.
Ibadah Sosial
Ali mengatakan bahwa untuk mengentaskan kemiskinan yang ada di tengah masyarakat, diperlukan keterlibatan masyarakat pada umumnya termasuk umat Islam sebab Islam merupakan agama yang mengedepankan ibadah sosial.
"Meskipun Nabi Muhammad memiliki kemampuan untuk naik haji tiga setiap tahun, beliau hanya melakukan satu kali saja sebab beliau lebih mengedepankan ibadah sosia. Beliau lebih memilih untuk berinfaq ribuan kali sebagai wujud ibadah sosial," jelasnya.
"Namun sayangnya, hal ini belum banyak ditiru oleh umat Islam karena mereka lebih banyak memilih untuk umroh dan naik haji berulang kali daripada mengentaskan kemiskinan." kata Ali.
Ali mengatakan bahwa peran serta ulama sangat diperlukan untuk mengubah sudut pandang tersebut.
"Ulama harus memberikan contoh tentang perilaku Nabi Muhammad terhadap umat Islam. Hal ini dikarenakan orang awam tidak dapat memahami langsung teks hadis atau Al-Quran." Jelas Ali.
"Perilaku Nabi Muhammad adalah berhaji satu kali namun berinfaq ribuan kali." Imbuhnya.
Lebih lanjut, Ali menuturkan bahwa tak dapat dipungkiri bahwa masih banyak oknum ulama yang lebih mengejar kesalehan individual dengan berhaji berulang-ulang sementara potret kemiskinan ada di setiap sudut.
"Sekarang, banyak ulama yang memberikan contoh untuk mengejar kesalehan individual. Padahal Islam bukan agama yang demikian karena Islam lebih menekankan kesalehan sosial," ujarnya.
Ulama Komersial Perlu Dibina
Sementara itu, Ali mengatakan bahwa para ulama komersial yang akhir-akhir semakin marak muncul di berbagai media
"Ulama komersial tersebut sesungguhnya bukan seorang ulama karena seorang ulama hendaknya membimbing dan memberi contoh umat Islam untuk tidak mementingkan diri sendiri." Jelasnya.
"Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai seorang ulama memiliki kebutuhan pribadi yang perlu dipenuhi. Namun perilaku untuk menjual agama tidak dapat dibenarkan bahkan mereka perlu untuk dibina," imbuh Ali.
Bagikan
BERITA TERKAIT
BERITA TERKINI
1068449
1068448
1068447
1068441
1068439
Bupati Sumenep Perangi Budaya Negatif Pemuda dengan Panggung Kreasi Anak Negeri
NUSANTARA
1 jam yang lalu
1068446
1068445
1068444
1068436
J-Rock, Okkay, dan Pertelon Koplo Hipnotis Pengunjung Semesta Berpesta Surabaya
LIFESTYLE
2 jam yang lalu
1068443
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
ARTIKEL TERPOPULER
3
Video: Jual Rumah Orang Tua Demi Judi Online
MULTIMEDIA
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
B-FILES


Perlukah Presiden/Kepala Negara Dihormati?
Guntur Soekarno
Urgensi Mitigasi Risiko Penyelenggara Pemilu 2024
Zaenal Abidin
Identitas Indonesia
Yanto Bashri