Jakarta - Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Laksamana Sukardi menyebut penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) atas persetujuan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Hal itu dikatakan Laksamana usai diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul yang menjerat Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung, Rabu (26/7).
"Ya itu nggak ada masalah, KKSK nggak ada masalah. Itu diberikan (rekomendasi SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim)," kata Laksamana usai diperiksa di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (26/7).
KKSK merupakan lembaga yang dibentuk di era Presiden BJ Habibie untuk mengawasi kerja BPPN dalam mengejar pengembalian pinjaman para obligor penerima BLBI. Salah satu kewenangan KKSK adalah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana induk penyehatan perbankan yang disusun BPPN. Kerja KKSK itu pun diperkuat dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8/2002, yang dikeluarkan Megawati.
Saat pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim, KKSK terdiri dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti selaku ketua, dengan anggota Menteri Keuangan Boediono, Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno serta Laksamana sendiri.
Laksamana menyebut terdapat sejumlah mekanisme pembayaran tagihan utang para obligor BLBI. Pemerintah ketika itu, kata Laksamana, memilih menyelesaikan permasalahan utang obligor BLBI di luar jalur hukum. Keputusan tersebut merupakan pilihan politik pemerintah ketika itu. Hal ini mengingat saat itu pemerintah harus segera memulihkan perekonomian yang porak poranda akibat krisis ekonomi 1998. Sebaliknya, untuk menempuh jalur hukum perlu proses yang panjang dan memakan waktu. Apalagi, saat itu, kondisi peradilan belum memungkinkan. Bukan tak mungkin pemerintah akan kalah oleh obligor jika menempuh jalur hukum.
"Jaman dulu bisa dibayangkan, opsinya adalah memenjarakan semua bankir. BLBI Rp 400 triliun, tapi yang diserahkan ke BPPN hanya Rp 144 triliun yang pada bank swasta. Anda bisa bayangkan kalau semua dilakukan proses peradilan. Kita bisa kalah dan waktunya 10 tahun nggak jelas. Iya, sudah merupakan keputusan politis yang diambil pemerintah, didukung oleh IMF. Sehingga mereka menyerahkan aset dan semua dilakukan penjualan dengan cepat," tuturnya.
Laksamana menyebut terdapat sejumlah mekanisme pembayaran tagihan utang para obligor BLBI. Setidaknya ada tiga mekanisme yang ditawarkan pemerintah, di antaranya Master Of Settlement And Acquisition Agreement (MSAA), Master Of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan/atau Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta Pengakuan Utang/APU).
"Pada waktu itu juga diharapkan penyelesaian yang cepat karena perekonomian dan kondisi keuangan kita lagi parah. Mungkin Anda masih kecil tahun 99," tutur Laksamana.
Mekanisme pembayaran tagihan utang dengan mekanisme MSAA, salah satunya dipilih oleh Sjamsul Nursalim yang diketahui mendapat kucuran BLBI sebesar Rp28,40 triliun. Untuk menjaga konsisten pembayaran tagihan obligor, kebijakan menyelesaikan persoalan BLBI di luar jalur hukum terus dilakukan dari era Habibie hingga Megawati. Pemerintah pun ketika itu mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor VI/MPR/2002 dan TAP MPR Nomor X/MPR/2001 hingga terbitnya Inpres Nomor 8/2002, untuk mengejar obligor BLBI.
"Karena kalau tidak konsisten, tidak ada kepastian hukum dan tidak ada penjualan-penjualan aset di BPPN dan ekonomi berantakan," ujarnya.
Pemerintah, kata Laksamana harus memberikan kepastian hukum kepada para obligor yang telah menyelesaikan utangnya dengan mekanisme MSAA, atau dua mekanisme lainnya itu. Untuk itu, pemerintah pemerintah memberikan SKL kepada obligor yang telah menyelesaikan kewajibannya melalui BPPN atas persetujuan KKSK.
"Sampai akhirnya jaman Bu Megawati dibuat percepatan penjualan aset dan ekonomi menjadi recover (pulih). IMF juga, utang dibayar kembali. Bagi obligor-obligor yang telah memenuhi MSAA harus diberikan kepastian hukum. Itu adalah mandat dari MPR," jelasnya.
Meski demikian, Laksamana enggan berkomentar saat disinggung adanya dugaan penyimpangan yang terjadi dalam pemberian SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim. Laksamana menyatakan, hal tersebut merupakan kewenangan KPK yang saat ini sedang mengusut dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim.
"Itu tugas KPK. Saya nggak bisa ngomong," katanya.
Sjamsul diketahui memang telah menjalankan kebijakan MSAA hingga kewajiban BLBI yang harus dipenuhinya tersisa Rp 4,8 triliun dari kewajiban sebesar Rp 28 triliun. KPK menduga kewajiban Syamsul sebesar Rp 4,8 triliun belum dipenuhi seluruhnya. Dari Rp 4,8 triliun, Sjamsul baru membayar Rp 1,1 triliun. Namun, Ketua BPPN saat itu, Syafruddin Arsjad Temenggung tetap memberikan SKL BLBI kepada Sjamsul. Kebijakannya menerbitkan SKL BLBI kepada Sjamsul membuat Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Syafruddin diduga telah menguntungkan diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul. Akibatnya, keuangan negara ditaksir menderita kerugian hingga Rp3,7 triliun.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Syafruddin disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sumber: Suara Pembaruan