Jakarta - Anggota Komisi I DPR Supiadin Aries Saputra meyakini, pembelian helikopter Agusta Westland (AW) 101 telah memenuhi prosedur. Namun, syarat prosedural tidak bisa mencegah praktik penggelembungan harga (mark up). Lagipula, pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) merupakan wewenang Menteri Pertahanan (Menhan) bukan Panglima TNI.
"Soal pembelian dan pengadaan heli AW 101 yang ramai diperbincangkan secara prosedural sudah benar. Namun memang terdapat mark up," ungkap Supiadin Aries Saputra dalam diskusi Forum Legislasi bertema "RUU Pengelolaan Sumber Daya Nasional Pertahanan Negara dan Membedah Heli AW 101", di Jakarta, Selasa (22/8).
Purnawirawan TNI berpangkat Mayjen itu meyakini bahwa Menhan mengetahui pasti spesifikasi AW 101 termasuk proses pengadaannya. Sebab alutsista dibahas secara tertutup oleh Komisi I DPR bersama Menhan dan Panglima TNI
"Karena memang ada hal-hal yang menyangkut spesifik alutsista itu dan tidak bisa diketahui oleh umum. Karena itu ada hal-hal yang menyangkut kerahasiaan dalam sistem senjatanya sehingga itu terbatas," imbuhnya.
Namun demikian pihaknya menolak jika disebut ikut bertanggung jawab dalam kasus AW 101. Sebab, situasi yang terjadi di lapangan di luar sepengetahuan Komisi I DPR. Pembentukan Panja yang menyangkut anggaran hanya sebatas memeriksa kebutuhan di lapangan.
Kasus korupsi pembelian heli AW 101 ditangani KPK dan POM TNI. KPK menangani pihak swastanya sedangkan TNI menangani perwiranya. Sedikitnya ada enam tersangka dalam perkara pembelian satu unit heli AW 101 yang diduga terjadi pengaturan lelang dan "mark up".
Pengamat pertahanan dan militer Connie Rahakundini Bakrie menilai, kasus AW 101 akan membawa banyak masalah. Sebab, kasus tersebut menandakan kegagalan membentuk postur kekuatan pertahanan dan kegagalan mewujudkan kemandirian industri pertahanan.
Menurut Connie, kinerja Kapolri Jenderal Tito Karnavian berkaitan dengan pengelolaan anggaran pertahanan dan keamanan, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kinerja Panglima TNI Gatot Nurmantyo.
Hal itu bisa dilihat dari meningkatnya anggaran keamanan Polri dari Rp 44 triliun pada 2014 menjadi Rp 47 triliun tahun 2017.
Sedangkan TNI yang pada 2017 mendapat Rp 108 triliun tidak bisa menunjukan hasilnya dalam penguatan pertahanan kecuali munculnya kasus korupsi alutsista.
Menurut dia, ketika Presiden Jokowi menyatakan Indonesia menjadi poros maritim dunia, sepatutnya pertahanan Indonesia mengikutinya dengan mengganti pola defensif menjadi ofensif. Panglima TNI mengambil peranan penting pada bagian itu.
"Kenapa TNI kita berubah ? Saat Presiden menyatakan kita menjadi poros maritim dunia, otomatis kita menjadi negara dirgantara dunia. Tadinya kita defensif, kita menjadi ofensif," ucap Connie.
Sumber: Suara Pembaruan