MK Putuskan Penghayat Kepercayaan Masuk Kolom KTP dan KK

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan bahwa penghayat kepercayaan bisa ditulis di kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Hal ini diputuskan oleh MK setelah mengabulkan gugatan sejumlah warga penghayat kepercayaan.
Warga penghayat kepercayaan ini menggugat Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Kedua pasal itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan".
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Arief Hidayat, di gedung MK di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (7/11).
Dalam pertimbangan hukumnya, kata Arief, MK menilai ada perlakuan tidak adil dan berbeda antara penganut agama yang diakui di Indonesia dengan penganut kepercayaan. Menurut Arief, perlakuan tidak adil pun menimbulkan perlakuan diskriminatif.
"Pembatasan hak a quo justru menyebabkan munculnya perlakuan yang tidak adil terhadap warga negara penghayat kepercayaan sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon. Dengan tidak dipenuhinya alasan pembatasan hak sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, maka pembatasan atas dasar keyakinan yang berimplikasi pada timbulnya perlakukan berbeda antarwarga negara merupakan tindakan diskriminatif," katanya.
Ketika penganut kepercayaan tidak masuk dalam terminologi "agama", kata Arief, maka hal tersebut tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama kepada warga negara di hadapan hukum. Penganut kepercayaan juga sulit masuk dalam kolom KTP dan KK.
"Ketiadaan elemen data kependudukan tentang agama di KTP dan KK juga berdampak pada pemenuhan hak-hak lain, seperti perkawinan dan layanan kependudukan. Jadi, pengaturan tersebut telah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama, yakni terhadap warga negara penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama yang diakui menurut peraturan perundang-undangan dalam mengakses pelayanan publik," terangnya.
Untuk penulisan di KTP, kata Arief, tidak perlu diperinci. Pasalnya, penghayat kepercayaan di Indonesia terlalu banyak dan beraneka ragam. Hal ini, kata dia, juga tujuannya untuk tertib administrasi.
Dia mencontohkan bila ada warga menganut kepercayaan "A", maka di KTP-nya tidak perlu ditulis "A", melainkan cukup ditulis "penghayat kepercayaan".
"Maka, pencantuman elemen data kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya dengan mencatatkan yang bersangkutan sebagai 'penghayat kepercayaan' tanpa memerinci kepercayaan yang dianut di dalam KK maupun KTP, begitu juga dengan penganut agama lain," ujar Arief.
Gugatan Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) UU Administrasi Kependudukan diajukan oleh Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan kawan-kawan. Gugatan itu diajukan agar para penghayat kepercayaan bisa menulis kepercayaannya di kolom KTP.
Pasal 61 Ayat (1) menyebutkan,"KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orangtua."
Kemudian, Pasal 64 Ayat (1) menyatakan,"KTP mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP, dan tanda tangan pemilik KTP." (YUS)
Sumber: BeritaSatu.com
BERITA TERKAIT
BERITA TERKINI
Anggota PSI Naik 13.267, Kaesang: Terima Kasih, Mari Berjuang Bersama
4
B-FILES


ASEAN di Tengah Pemburuan Semikonduktor Global
Lili Yan Ing
Perlukah Presiden/Kepala Negara Dihormati?
Guntur Soekarno
Urgensi Mitigasi Risiko Penyelenggara Pemilu 2024
Zaenal Abidin