Bila jurnalis membiarkan konflik berarti berkontribusi menciptakan stereotipe keagamaan.
Media memiliki tanggung jawab sosial dalam memberitakan isu-isu konflik keagamaan sebagai fakta yang memang sedang terjadi.
Demikian diungkapkan Irshad Manji, reformis Islam asal Kanada yang juga seorang jurnalis, di acara diskusi jurnalisme dan isu-isu keagamaan yang digelar oleh AJI Jakarta, di Jakarta, Sabtu (5/4).
“Sudah merupakan tugas para jurnalis untuk mencari cerita-cerita di balik kejadian-kejadian tersebut. Dengan demikian bisa menciptakan keberagaman dalam berpikir terkait untuk isu-isu tersebut. Tujuannya bukan untuk mengklaim apa pun, tapi memang untuk menceritakan keadaan tersebut sebagaimana apa adanya,” tegas Irshad.
Lebih lanjut Irshad mengatakan, bila para jurnalis membiarkan saja konflik-konflik tersebut, maka mereka pun akhirnya berkontribusi untuk menciptakan stereotipe-stereotipe keagamaan. Lantas, dia pun membandingkan jurnalis dari Amerika Utara, Kanada dan AS, dengan jurnalis dari Eropa terkait pemberitaan mereka untuk isu-isu keagamaan.
“Kalau Kanada dan AS, media cenderung untuk melihat tindakan para pemeluk beragama. Baiklah, kamu beragama, tapi apa yang kamu lakukan atas nama agama tersebut. Mereka biasanya akan sangat kritis dan mau menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit,” katanya.
Sebaliknya di Eropa, menurut Irshad, karena historis kelam dari Gereja Katolik di masa lalu, mereka akan sangat mencurigai agama. Mereka cenderung menganggap bahwa agama merupakan musuh sejati dari kebebasan berpikir.
"Itu akibat historisitas mereka. Para jurnalis daratan Eropa lebih takut menulis tentang agama karena akan ada anggapan bahwa mereka anti atau pro agama,” katanya.
Sementara itu di Indonesia, Irshad menceritakan pengalamannya saat diwawancarai jurnalis Indonesia di Jakarta saat dia menyebutkan nama-nama organisasi yang mengecam keberadaannya, jurnalis menjadi sangat tidak nyaman.
“Saat saya bicara soal pembatalan acara di Solo dan saya sebutkan beberapa nama, dia terlihat sangat enggan bicara soal itu. Padahal, menurut saya, itulah yang terjadi dan tugas media memberikan fakta secara akurat kepada audiens. Anda tidak bisa mengatakan bahwa menyebutkan nama-nama organisasi akan ciptakan ketegangan karena memang sudah ada tekanan. Anda tidak bisa tutupi ketegangan tersebut,” tegasnya.
Keengganan media untuk menulis tentang konflik keagamaan, diakui oleh Endi Bayuni, wartawan senior Jakarta Post, disebabkan oleh represi yang terjadi di zaman Soeharto selama tiga puluh tahun.
“Untuk jurnalisme di Indonesia, isu-isu keagamaan tersebut tidak popular. Kalau ada paling hanya berkutat dengan isu (naik) haji di kementerian agama. Tetapi, kalau soal friksi agama, misalnya penyerangan terhadap Ahmadiyah, pembakaran Gereja dan Mesjid, tidak diliput,” kata Endi.
Kalaupun ada, Endi menambahkan, media akan menaruh isu-isu tersebut cenderung dalam porsi kriminal atau dikubur di halaman dalam. Padahal saat negara yang harusnya melindungi warga negara malah tidak bisa, sambung dia, medialah yang harus ambil tugas itu.
Alasan lainnya, menurut Endi, karena saat terjadi tension antarkelompok agama, media takut dianggap membela salah satu pihak. “Ada juga ketakutan kalau diberitakan justru akan menambah ekskalasi perpecahan, misalnya yang terjadi di Poso atau Maluku,” jelasnya.
Dia mengatakan, perlu waktu bagi media untuk menempatkan dan memperlakukan isu-isu keagamaan sama seriusnya dengan isu-isu politik, ekonomi, dan hukum. “Isu-isu agama ini semakin lama semakin kompleks, semakin sensitif dan harus ditangani dengan lebih serius oleh media,” katanya.
“Misalnya, dari PGI (Persatuan Gereja Indonesia) menyebutkan ada setidaknya 600 gereja yang dibakar tapi tidak diketahui publik. Itu juga menjadi dosa media karena tidak diliput karena pelakunya bisa bebas saja membakar tempat lain. Tetapi, bagaimana cara meliputnya memang belum dipelajari dengan baik.”
Sementara itu Novriantoni, pengamat sosial keagamaan dari Universitas Paramadina, mengatakan bahwa pemihakan para jurnalistik harusnya pemihakan kepada kemanusiaan. “Mau agama apapun tetapi ada penghancuran gereja, masjid, atau rumah yang dibangun dengan uang yang tidak sedikit. Saat negara yang harusnya membela, tidak bela, maka jurnalis yang harus bela,” tegas Novriantoni.