Banyak Media, Wartawan Abal-abal pun Menjamur

Depok- Seiring pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) pascareformasi, jumlah media massa menjadi bermunculan. Tercatat berdasarkan data Dewan Pers tahun 2018, terdapat 2.000 media cetak, 43.300 media siber, 674 media radio, dan 523 media televisi.
Dari data tersebut, media cetak yang telah terverifikasi hanya sebanyak 321 media. Adapun media siber yang telah terverifikasi sejumlah 168. Hal ini memicu muncul banyak media baru dan banyak pengusaha atau kelompok politik yang membuat media.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengungkapkan, media abal-abal ini tidak berbadan hukum, tidak memiliki alamat redaksi yang jelas, tidak menyebutkan nama penanggung jawab, terbit temporer (kadang terbit kadang tidak), bahasanya tidak menggunakan standar baku jurnalistik, menggunakan nama yang terkesan menakutkan misalnya KPK, BNN, ICW, Tipikor, Buser. Isi dari media tersebut banyak yang melanggar kode etik.
"Kami menemukan ada media cetak namanya KPK. Bukan Komisi Pemberantasan Korupsi tapi Koran Pemberita Korupsi. Mereka ini punya cabang sampai ke daerah daerah. Mereka menakut-nakuti para kepala desa, kepala sekolah. Dengan tuduhan selalu tentang anggaran. Misalnya penyimpangan anggaran bantuan operasional sekolah (BOS), anggaran dana desa. Kami tangani. Jelas ini pelanggaran. Tidak boleh menggunakan nama nama lembaga. Apalagi ternyata kantor redaksinya itu adalah warung kelontong," papar Yosep dalam Diskusi Publik Ancaman Terhadap Kebebasan Pers di Gedung Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Jumat (23/3).
Terlebih, saat ini memasuki Tahun Politik di mana sejumlah daerah mengadakan Pilkada serentak. Menjelang Pilkada ini kerap bermunculan media palsu yang melakukan kampanye hitam kepada pasangan calon dengan mengatasnamakan kebebasan pers.
Yosep Adi melanjutkan, media abal-abal ini juga melahirkan wartawan abal-abal di mana mereka berpenampilan sok jago yang tak memahami etika jurnalistik, mengaku anggota organisasi wartawan meski tak jelas organisasi apa yang dimaksud, mengajukan pertanyaan pertanyaan yang tendensius dan kerap kali mengancam atau memeras narasumber.
"Wartawan abal-abal ini ada lho yang dulunya adalah kernet bis, tukang tambal ban karena sekarang sangat mudah jadi wartawan tinggal membuat kartu identitas maka jadilah wartawan. Mereka juga kerap kali mengandalkan kartu identitas ini untuk selamat dari tilang ketika berhadapan dengan aparat kepolisian," tutur pria yang akrab disapa Stanley ini.
Mengatasi hal ini, Dewan Pers telah berupaya memperbaiki kualitas dan kompetensi wartawan dengan pengawasan pelaksanaan kode etik jurnalistik, membuat uji kompetensi, menegur media tersebut, membuat sejumlah pedoman peliputan.
"Ada uji kompetensi dan sertifikasi. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) punya ujian itu. Kami juga menyelenggarakan. Saat ini jumlah wartawan yang bersertifikasi terus bertambah. Data detailnya bisa dilihat di situs Dewan Pers," tutur Stanley.
Sumber: Suara Pembaruan
BERITA TERKINI
Grup SRAJ Dapatkan Pinjaman Rp 500 Miliar dari Indonesia Infrastructure Finance
Penemuan Jenazah Wanita Gegerkan Wisatawan Penangkaran Buaya Mayang Mangurai
Nama Bacawapres Ganjar Mengerucut ke Khofifah, Hasto PDIP: Hanya Bu Mega yang Tahu
5
B-FILES


ASEAN di Tengah Pemburuan Semikonduktor Global
Lili Yan Ing
Perlukah Presiden/Kepala Negara Dihormati?
Guntur Soekarno
Urgensi Mitigasi Risiko Penyelenggara Pemilu 2024
Zaenal Abidin