Jakarta, Beritasatu.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kediaman Bupati Lingga, Alias Wello di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, Rabu (27/11/2019). Penggeledahan ini merupakan bagian dari proses penyidikan kasus dugaan korupsi pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) yang menjerat Bupati Kotawaringin Timur, Supian Hadi
"Salah satu rumah (digeledah) untuk kepentingan penyidikan di Kotawaringin Timur," kata Jubir KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (27/11/2019) malam.
Alias Wello pernah diperiksa sebagai saksi terkait kasus ini di Mapolresta Barelang, Batam, Kepulauan Riau, pada Jumat (23/8/2019). Saat itu, Wello bersaksi dalam kapasitasnya sebagai pihak swasta.
Diketahui, sebelum menjabat sebagai Bupati Lingga periode 2016-2021, Alias Wello merupakan Direktur PT Fajar Mentaya Abadi dan Direktur PT Aries Iron Mining. Dua perusahaan tersebut diduga mendapat IUP dari Supian Hadi selaku Bupati Kotawaringin Timur secara melawan hukum.
Febri mengatakan, penggeledahan di rumah Alias Wello merupakan salah satu tindak lanjut dari proses pemeriksaan yang telah dilakukan.
"Jadi penggeledahan ini bagian dari upaya administrasi. Ada surat yang kami sampaikan ke rumah di Jakarta, tetapi tidak ada orang maka kami mendatangi rumah yang di Kepulauan Riau (Kepri)," katanya.
Meski demikian, Febri belum dapat menjelaskan lebih rinci ihwal barang bukti yang disita penyidik dari penggeledahan tersebut.
"Saya belum dapat info detail penggeledahan," katanya.
Diketahui, KPK menetapkan Supian Hadi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian IUP kepada tiga perusahaan, yakni PT Fajar Mentaya Abadi, PT Billy Indonesia, dan PT Aries Iron Mining di Kotawaringin Timur periode 2010-2015. Tindak pidana yang diduga dilakukan Supian mengakibatkan kerugian keuangan negara yang ditaksir mencapai Rp 5,8 triliun dan US$ 711.000.
Indikasi kerugian keuangan negara yang diakibatkan korupsi Supian ini lebih besar dari kerugian keuangan negara akibat korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sekitar Rp 4,58 triliun dan korupsi proyek e-KTP sekitar Rp 2,3 triliun.
Sebanyak Rp 2,5 triliun kerugian keuangan negara dari korupsi yang dilakukan Supian Hadi dihitung berdasarkan hasil produksi pertambangan perusahaan yang diduga izinnya diperoleh secara melawan hukum. Sementara selebihnya dihitung dari kerusakan lingkungan dan kerugian kehutanan akibat produksi dan kegiatan pertambangan yang dilakukan PT Fajar Mentaya Abadi, PT Billy Indonesia dan PT Aries Iron Mining yang dikonversikan serta biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan kerusakan tersebut.
Kerugian keuangan negara ini belum termasuk kick back atau imbal balik yang diduga diterima Supian lantaran pemberian IUP kepada ketiga perusahaan tersebut. Supian telah menerima sejumlah barang mewah dan uang tunai. Supian setidaknya menerima mobil Toyota Land Cruiser senilai Rp 710 juta dan mobil Hummer H3 senilai Rp 1,35 miliar. Selain itu, uang sebesar Rp 500 juta yang diduga diterima melalui pihak lain.
Kasus ini bermula saat Supian baru dilantik sebagai Bupati Kotim. Supian mengangkat teman-teman dekat yang juga tim suksesnya sebagai Direktur dan Direktur Utama pada PT Fajar Mentaya Abadi dan mendapat jatah saham masing-masing sebesar 5 persen.
Selanjutnya, pada Maret 2011, Supian menerbitkan Surat Keputusan IUP Operasi Produksi seluas 1.671 hektar kepada PT Fajar Mentaya Abadi yang berada di kawasan hutan. Padahal, Supian mengetahui PT Fajar Mentaya Abadi belum mengantongi sejumlah izin, seperti izin lingkungan atau Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan perizinan lainnya.
Sejak November 2011, PT Fajar Mentaya Abadi telah melakukan kegiatan operasi produksi pertambangan bauksit dan melakukan ekspor ke Tiongkok. Pada akhir November 2011, Gubernur Kalimantan Tengah mengirimkan surat kepada Supian untuk menghentikan seluruh kegiatan usaha pertambangan PT Fajar Mentaya Abadi. Namun
, PT Fajar Mentaya Abadi tetap melakukan kegiatan pertambangan hingga 2014. Akibat perbuatan Supian memberikan IUP atas nama PT Fajar Mentaya Abadi tidak sesuai ketentuan menimbulkan kerugian negara yang dihitung dari nilai hasil produksi yang diperoleh secara melawan hukum, kerusakan lingkungan hidup dan kerugian kehutanan.
Sementara itu, terkait PT Billy Indonesia, Supian mengabulkan permohonan PT Billy Indonesia pada 2010 dengan memberikan SK IUP Eksplorasi kepada PT Billy Indonesia tanpa melalui proses lelang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Tak hanya itu, PT Billy Indonesia tidak memiliki Kuasa Pertambangan sebelumnya.
Bukan cuma itu, Supian juga memberikan SK IUP tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Billy Indonesia meski tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan. Berdasarkan izin yang diberikan Supian, PT Billy Indonesia melakukan ekspor bauksit sejak Oktober 2013.
Akibat perbuatan Supian, PT Billy Indonesia telah melakukan kegiatan produksi yang menurut para ahli pertambangan diduga menimbulkan kerugian yang dihitung dari hasil produksi senilai setelah dikurangi royalti yang telah dibayarkan dan kerugian lingkungan.
Sedangkan PT Aries Iron Mining mendapat IUP Eksplorasi tanpa melalui proses lelang WIUP. Padahal PT Aries Iron Mining tidak memiliki Kuasa Pertambangan sebelumnya. Akibat perbuatan Supian, PT Aries Iron Mining melakukan kegiatan eksplorasi yang merusak lingkungan dan akibatnya menimbulkan kerugian lingkungan.
Sumber: Suara Pembaruan