Jakarta, Beritasatu.com – Permohonan pengajuan kembali (PK) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya tetap memperhatikan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dari sisi regulasi, KPK sewajarnya memperhatikan legitimasi subjek pemohon PK yang limitatif, yaitu terpidana dan ahli Waris, bukan hak dari penegak hukum.
“Pengajuan PK oleh KPK terkait kasus Syafrudin Arsjad Temenggung, dari sisi regulasi, KPK sewajarnya memperhatikan legitimasi subkek pemohon PK yang limitatif, yaitu terpidana dan ahli waris, bukan hak dari penegak hukum. Walaupun yurisprudensi tidak konstan, peradilan pernah memberikan tempat penegak hukum sebagai subjek pemohon PK,” ujar pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji di Jakarta, Jumat (7/2/2020).
Indriyanto menjelaskan, secara historis di sistem hukum pidana Prancis, pada prinsipnya PK (revition) digunakan sebagai basis perlindungan hak asasi manusia. Khususnya terhadap rakyat yang mendapat perlakuan kesewenangan hukum dari kekuasaan.
“Intinya, hak PK hanya diberikan kepada masyarakat yang menjadi korban kesewenangan dari kekuasaan. Jadi, PK bukan diberikan kepada negara, dalam hal ini penegak hukum,” kata Indriyanto.
Dalam pemahaman sistem hukum pidana Indonesia, lanjut dia, KUHAP hanya memberikan hak untuk mengajukan PK secara terbatas kepada terpidana dan ahli waris dari terpidana. Dengan demikian, ujarnya, negara, dalam hal ini Jaksa, tidak diberikan legitimasi dan peluang untuk mengajukan PK.
KUHAP secara tegas dan jelas memberikan basis subjek PK terbatas tersebut. Pertanyaannya, kata Indriyanto, adalah apakah rumusan norma yang terdapat dalam ketentuan Pasal 263 Ayat 3 KUHAP sudah clear.
“Tegas, jelas, atau belum? Dalam arti, apakah ketentuan a quo secara eksplisit verbis memberikan hak kepada Jaksa (KPK) untuk mengajukan PK,” jelasnya.
Hal ini menjadi pertanyakan, karena dalam ilmu hukum dan ilmu perundang-undangan terdapat asas hukum yang bersifat universal, yaitu interpretatio cessat in claris. Asas ini harus bermakna bahwa kalau teks atau redaksi suatu undang-undang telah jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya.
“Karena penafsiran terhadap kata-kata yang telah jelas berarti penghancuran, suatu interpretatio est perversio. Selain itu, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujarnya.
Menurut Indriyanto, KUHAP telah tegas dan jelas tidak memberi tempat serta hak bagi negara untuk mengajukan PK. Jadi, dalam melakukan upaya hukum, sebaiknya KPK menjaga prinsip kehati-hatian untuk menjaga kepastian hukum.
Sumber: Suara Pembaruan