Jakarta, Beritasatu.com - Tahun ini, perayaan Hari Kartini terasa berbeda. Tidak ada lagi pawai, peragaan busana, atau seremonial. Semua harus terhenti karena pandemi Covid-19.
Namun, bagi dr Debryna Dewi Lumanauw, salah satu relawan di rumah sakit darurat penanganan Covid-19 di Wisma Atlet, mengatakan justru pada masa krisis inilah masyarakat Indonesia bisa melihat lebih dalam esensi perjuangan Kartini yang sesungguhnya.
dr Debryna bercerita, saat ini para petugas medis perempuan dan laki-laki saling membantu di satu garis pertahanan yang sama melawan pandemi Covid-19, tanpa pamrih. Tidak ada lagi ego dalam diri. Semua lepas saat langkah kaki para relawan, khususnya dr Debryna masuk ke area rumah sakit darurat Wisma Atlet beberapa minggu lalu.
Perempuan berusia 28 tahun ini berkata, tidak ada alasan untuk mengatakan tidak terlibat dalam menangani pandemi Covid-19. Inilah saatnya ia menjalani tugas baktinya sebagai dokter.
Dalam menjalankan tugasnya, ia pun mengakui semangat Raden Ajeng Kartini menginspirasi dirinya untuk tetap berjuang tanpa mengharap imbalan lebih.
"Saat ini kita semua terinspirasi oleh RA Kartini,” jelasnya saat dihubungi Beritasatu.com, Senin (20/4/2020).
Sebagai dokter, Debryna mengakui, isu gender di kalangan medis sejak dulu sudah mendarah daging. Masyarakat meyakini, spesialisasi dokter identik dengan laki-laki. Sementara saat bertugas melawan pandemi, masyarakat justru lebih menaruh perhatian pada para petugas medis perempuan yang terjun ke lapangan. Mengapa? Mereka berpikir, untuk mengatasi bencana dan pandemi yang berat, hanya bisa dilakukan oleh kaum perempuan.
"Faktanya, kita semua di sini bekerja bersama. Perempuan dan laki-laki dapat porsi yang sama,” terangnya.
Terkait dengan kesetaraan gender, ia menilai sesungguhnya pandangan akan derajat perempuan dan lekaki berasal dari diri setiap individu. Seperti saat dirinya memutuskan menjadi dokter spesialis emergency medicine. Usai menuntaskan kuliahnya di negeri Paman Sam, ia pun memilih untuk bergabung bersama Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).
Jelas, dengan pilihan itu Debryna harus bersedia mendatangi sejumlah daerah tempat terjadinya bencana seperti Palu, Donggala, hingga Banten. Berbagai dampak bencana seperti banjir, tanah longsor hingga tsunami pun disaksikannya. Baginya, tantangan alam dan fisik bukan menjadi halangan.
"Aku pilih karena aku suka. Orang menganggap kalau di emergency dan bencana, secara fisik lebih tidak enak. Semua itu kembali lagi ke orangnya. Tantangan ini mau dijadikan penghalang atau semangat,” tukasnya.
Sumber: BeritaSatu.com