Jakarta, Beritasatu.com - Program Kartu Prakerja dianggap memiliki tujuan yang cukup baik, yakni meningkatkan kemampuan angkatan kerja Indonesia. Terlebih dengan tingkat pendidikan angkatan kerja yang didominasi lulusan SD dan SMP, dengan semakin majunya teknologi yaitu era digitalisasi, dengan adanya bonus demografi, maka meningkatkan kemampuan angkatan kerja menjadi sebuah keniscayaan.
Kartu Prakerja awalnya fokus pada pelatihan vokasional dengan alokasi anggaran Rp 10 triliun untuk dua juta angkatan kerja. Namun, dengan adanya Covid-19 maka fokus dialihkan menjadi pelatihan dan bantuan sosial dengan alokasi dana 20 triliun untuk 5,6 juta orang.
Pengamat Ketenagakerjaan Dan Jaminan Sosial Timboel Siregar mengakui, saat ini keberadaan Kartu Prakerja telah memunculkan beberapa polemik. Polemik pertama muncul ketika anggota Komisi IX DPR mempertanyakan pengelola program ini yang dilaksanakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemko Perekonomian), bukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
"Komisi IX mendorong agar pengelolaan program Kartu Prakerja ini dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan sehingga mereka dapat melakukan pengawasan melalui rapat kerja dengan Menteri Ketenagakerjaan secara langsung," kata Timboel, di Jakarta, Jumat (1/5/2020).
Menurutnya, dengan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2020, Kemko Perekonomian memang mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. Termasuk pelaksanaan inisiatif dan pengendalian kebijakan, bukan bertugas untuk melaksanakan program teknis seperti Kartu Prakerja.
Menurut Timboel, polemik kedua adalah penetapan delapan perusahaan oleh pemerintah untuk melaksanakan pelatihan di Kartu Prakerja. Seharusnya penetapan dilakukan sesuai Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
"Dana Kartu Prakerja berasal dari APBN sehingga harus diselenggarakan secara efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil dan akuntabel. Memang Pemerintah tidak memberikan dana langsung ke lembaga pelatihan tersebut namun pekerja yang ditetapkan sebagai peserta Kartu Prakerja wajib memilih pelatihan yang ditawarkan delapan perusahaan tersebut, tidak bisa ke lembaga pelatihan lain," ujarnya.
Dalam diskusi Virtual bersama dengan Fraksi Partai Nasdem yang bertema "Kontroversi Kartu Pra Kerja", dirinya juga telah menjabarkan polemik lain. Yakni, polemik ketiga tentang pelatihan yang wajib diikuti oleh peserta Kartu Prakerja, sebagai syarat mendapatkan dana bantuan Rp600.000 per bulan selama 4 bulan.
"Di era Covid-19 ini, sebaiknya memang Kartu Prakerja ini diabdikan seluruhnya untuk membantu daya beli pekerja yang ter-PHK atau dirumahkan tanpa upah. Pelatihan memang perlu, tetapi saat ini pelatihan tidak menjadi hal yang penting dan mendesak. Motif utama pekerja mendaftarkan diri di Kartu Prakerja adalah mendapat bantuan dana, bukan mengikuti pelatihan," ungkapnya.
Pada pendaftaran gelombang pertama, Pemerintah hanya meloloskan 168.111 pendaftar sehingga mereka berhak mendapatkan Kartu Prakerja. Jumlah tersebut lebih sedikit dari target yang ditetapkan yaitu sebesar 200.000 peserta.
Ketika merilis program tersebut, persyaratan yang disampaikan Pemerintah adalah berumur minimal 18 tahun, tidak sedang sekolah maupun tidak sedang bekerja, dan tidak mendapatkan bantuan lain dari Pemerintah. Namun dalam pelaksanaannya, Pemerintah melakukan seleksi ketat sehingga target 200.000 pendaftar kartu Prakerja di gelombang pertama ini pun tidak tercapai, hanya meloloskan 168.111 pendaftar.
Menurut Timboel, ada beberapa alasan yang menyebabkan target tersebut tidak terpenuhi. Yakni seperti ada sekitar 32.000 peserta dalam tahap akhir verifikasi gagal lantaran pengambilan selfie atau foto wajah yang kurang tepat sehingga gambar yang diunggah blur, menggunakan kacamata, telinga yang tidak terlihat, hingga gambar yang diunggah terdapat bayang-bayang. Selain itu juga disebabkan calon peserta mengambil selfie dengan menggunakan topi atau gambar selfie yang diunggah miring.
Menurutnya, alasan-alasan yang disampaikan Pemerintah sangat teknis dan menghambat para pendaftar mendapatkan kartu Prakerja. Sementara itu para pendaftar terus diperhadapkan pada kondisi kesulitan hidup yang harus dijalankan dengan keluarganya.
"Adanya kewajiban mengikuti test motivasi dalam pendaftaran sebagai syarat mendapatkan kartu Prakerja ini, sebaiknya ditiadakan saja. Saya meyakini motivasi pendaftar adalah mendapatkan bantuan ekonomi bukan ingin ikut pelatihan," ujarnya.
Dirinya pun setuju jika pemberian kartu Prakerja harus selektif. Namun seleksi yang terjadi hanya sebatas kondisi fisik calon peserta. Tentunya alasan yang disampaikan Pemerintah sehingga menolak sekitar 32.000 pendaftar di gelombang pertama ini tidak perlu terjadi bila Pemerintah menginformasikan ketentuan-ketentuan teknis tersebut di awal sehingga para pendaftar sudah bisa mempersiapkan.
"Selain tiga persayaratan umum dan ketentuan teknis, seharusnya Pemerintah juga mensyaratakan hal-hal lain yang akan memastikan bahwa kartu Prakerja ini memang tepat sasaran. Tentunya ada pekerja yang mendapatkan cukup besar pesangon atau bergaji besar pada saat bekerja, juga ikut mendaftar," kata Timboel.
Pendaftar seperti itulah yang tidak boleh menjadi prioritas mendapatkan Kartu Prakerja. Seharusnya, jumlah pesangon dan upah pekerja juga menjadi pertimbangan Pemerintah sebagai syarat untuk mendapatkan Kartu Prakerja, agar Kartu Prakerja benar-benar diberikan kepada pekerja yang mengalami masalah ekonomi.
"Mengingat pentingnya Kartu Prakerja untuk membantu ekonomi pekerja yang kena PHK maupun yang dirumahkan tanpa upah, maka sudah seharusnya pemerintah mempermudah proses seleksi pada gelombang kedua dan gelobang berikutnya, sehingga lebih banyak pendaftar yang bisa mendapatkan kartu Prakerja dengan tepat sasaran," tutupnya.
Sumber: BeritaSatu.com