Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta kepolisian agar menggunakan pendekatan restorative justice bagi pelanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saat pandemi virus corona (Covid-19). Model itu sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana dalam masa pandemi Covid-19 guna memberikan keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana maupun korban.
“Kami mendorong menggunakan pendekatan itu,” kata Komisioner Komnas HAM Amiruddin di Jakarta, Jumat (01/05/2020).
BACA JUGA
Ia menjelaskan restorative justice (keadilan restoratif) adalah sebuah pendekatan yang bertujuan untuk membangun sistem peradilan pidana yang peka tentang masalah korban. Pendekatan ini merupakan kritik terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia saat ini yang cenderung mengarah pada tujuan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan). Peradilan yang berlaku sekarang juga mengabaikan peran korban untuk turut serta menentukan proses perkaranya.
“Kami meminta Kepolisian agar memberikan jaminan dan perlindungan HAM dalam proses penegakan hukum bagi pelanggar selama PSBB. Harus dihindari tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) maupun penggunaan kekuatan berlebih (excessive use of power) dalam menyikapi isu yang berkembang di masyarakat,” jelas Amiruddin.
Komnas HAM mengapresiasi penanganan Corona Virus Disease (Covid-19) oleh pemerintah. Komnas HAM melihat penangannya cukup baik dan menunjukkan perkembangan yang siginifikan dalam menghentikan penyebaran virus tersebut. Misalnya terlihat dari penerapan PSBB di beberapa daerah, penambahan alat dan fasilitas kesehatan, distribusi bantuan hidup langsung, kebijakan fiskal, insentif untuk sektor industri dan perdagangan maupun antisipasi adanya gangguan keamanan yang bisa mengganggu tatanan hukum dan sosial yang ada.
Namun Komnas HAM masih mencatat adanya beberapa peristiwa yang berpotensi melanggar HAM. Setidaknya ada delapan peristiwa yang tersebar di beberapa wilayah terkait dengan penggunaan kekuatan berlebih oleh oknum Polri. Diantaranya, penggunaan kekerasan terhadap korban yang menyebabkan luka-luka di Manggarai Barat, NTT.
Kemudian pembubaran rapat solidaritas korban terdampak Covid-19 WALHI di Yogyakarta. Kasus lainnya adalah pendataan aktivis kemanusiaan Yogyakarta, penahanan tiga aktivis Kamisan Malang dengan alasan aksi melawan kapitalisme, dan dugaan kriminalisasi seorang peneliti kebijakan publik dengan alasan menyebarkan pesan yang mengajak orang lain melakukan tindak kekerasan.
“Peristiwa-peristiwa ini diduga sebagai ekses dari digunakannya hak atas kebebasan pribadi, khususnya hak atas berekspresi dan berpendapat seseorang atau sekelompok orang terhadap kebijakan yang muncul di masyarakat. Segala bentuk kekerasan atau upaya paksa harus dilakukan dengan merujuk pada prinsip nesesitas, proporsionalitas dan profesionalitas dalam rangka perlindungan HAM,” tutup Amiruddin.
Sumber: BeritaSatu.com