Jakarta, Beritasatu.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan mendalami keterangan asisten pribadi mantan Menpora Imam Nahrawi, Miftahul Ulum, saat bersaksi dalam sidang perkara dugaan suap dana hibah KONI dan gratifikasi dengan terdakwa Imam Nahrawi pada Jumat (15/5/2020). KPK juga akan mendalami kesaksian Ulum mengenai aliran dana Rp 3 miliar kepada anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi dan Rp 7 miliar kepada mantan Jampidsus Kejaksaan Agung Adi Toegarisman.
Plt Jubir KPK, Ali Fikri mengatakan, kesaksian Ulum tersebut bernilai alat bukti. Hal ini lantaran kesaksian itu disampaikan Ulum di persidangan yang telah di bawah sumpah.
"Keterangan saksi di bawah sumpah di depan persidangan tentu menjadi satu keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti," Ali, Senin (18/5/2020).
Ali menyatakan, kesaksian Ulum ini akan didalami dengan diperiksa silang dengan keterangan saksi dan bukti lain. Hal ini penting lantaran keterangan satu saksi bukanlah saksi.
"Adanya asas hukum satu saksi bukanlah saksi maka tentu harus dilihat pula dari sisi alat bukti lainnya, setidaknya ada persesuaian keterangan saksi lainnya, alat bukti petunjuk ataupun keterangan terdakwa," katanya.
Ali mengatakan, seluruh fakta yang muncul di persidangan telah dicatat oleh Jaksa Penuntut KPK. Nantinya dari seluruh fakta persidangan akan dilakukan analisis yuridis lebih lanjut dalam surat tuntutan.
Lembaga antirasuah ini memastikan perkara korupsi tersebut akan dikembangkan. Bila ditemukan fakta hukum maupun pertimbangan majelis hakim dalam putusan, tak menutup kemungkinan KPK akan bertindak terhadap pihak lainnya.
"Setidaknya adanya dua alat bukti permulaan yang cukup. Maka tentu KPK tak segan untuk menentukan sikap berikutnya dengan menetapkan pihak lain sebagai tersangka," tegasnya.
Sebelumnya, Ulum menyebut Qosasi dan Adi menerima uang dari Kempora. Pemberian fulus diduga terkait temuan BPK dan Kejaksaan Agung mengenai keuangan KONI maupun Kempora.
Hakim meminta Ulum menjelaskan detail nama-nama pihak yang menerima uang tersebut.
"Untuk inisial AQ yang terima Rp3 miliar itu, Achsanul Qosasi. Kalau Kejaksaan Agung ke Adi Toegarisman, setelah itu KONI tidak lagi dipanggil oleh Kejagung," kata Ulum dalam kesaksiannya.
Sebelumnya dalam persidangan pada Rabu (18/3/2020) terungkap adanya aliran dana sebesar Rp 7 miliar dari Kempora untuk menyelesaikan kasus yang ditangani Kejaksaan Agung. Aliran dana itu disampaikan Kepala Bagian Keuangan KONI, Eny Purnawati yang dihadirkan sebagai saksi.
Dalam persidangan itu, Imam mempertanyakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Eny di KPK soal uang pinjaman untuk mengurus kasus di Kejaksaan Agung.
"Ibu mengatakan di sini (BAP) saya diberitahu Pak Johnny E Awuy (Bendahara KONI) bahwa ada pinjaman KONI sebesar Rp 7 M untuk menyelesaikan kasus di Kejaksaan," tanya Imam di persidangan.
"Iya," jawab Eny.
Kemudian Imam menanyakan soal pemanggilan Eny oleh Kejaksaan sampai dua kali. "Kasus apa?" tanya Imam.
"Setahu saya bantuan KONI dari Kempora tahun 2017," jawab Eny.
Dugaan korupsi dana bantuan pemerintah melalui Kempora untuk KONI sekitar Rp 26 miliar diketahui merupakan salah satu kasus di Kempora yang ditangani Pidana Khusus Kejaksaan Agung. Kasus bermula dari proposal KONI Pusat tertanggal 24 November 2017 kepada Menpora Imam Nahrawi yang berisi permohonan bantuan senilai Rp 26.679.540.000,00.
Pada tanggal 8 Desember 2017, Menpora Imam Nahrawi memerintahkan Deputi 4 bidang Peningkatan Prestasi Olahraga untuk segera menindaklanjuti proposal dari KONI Pusat tersebut. Hal ini mengingat dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA K/L) Kempora Tahun 2017 belum ada peruntukan anggaran untuk merespons proposal KONI tersebut.
Kempora melalui Biro Perencanaan kemudian melakukan revisi berdasarkan usulan Deputi 4 bidang Peningkatan Prestasi Olahraga.
Desember 2017, Kempora menggulirkan dana bantuan hingga Rp 25 miliar yang dicairkan ke rekening KONI. Penggunaannya diperuntukkan dalam rangka pembiayaan program pendampingan, pengawasan, dan monitoring prestasi atlet jelang Asian Games 2018. Namun diduga telah terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Sejumlah oknum dari Kempora dan KONI Pusat diduga membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran fiktif dengan modus pengadaan barang dan jasa tanpa prosedur lelang.
Dalam perkara ini, Imam Nahrawi bersama-sama asisten pribadinya Miftahul Ulum didakwa menerima suap sebesar Rp 11,5 miliar dari mantan Sekretaris Jenderal KONI Endang Fuad Hamidy agar mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan oleh KONI pusat kepada Kempora pada tahun kegiatan 2018 lalu. Selain itu, Imam dan Ulum didakwa menerima gratifikasi senilai Rp 8,6 miliar dari beberapa pihak.
Sumber: BeritaSatu.com