Jakarta, Beritasatu.com - Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir menegaskan upaya peninjauan kembali (PK) yang dilakukan kejaksaan, tidak boleh mewakili kepentingannya, melainkan untuk korban, terdakwa atau terpidana. Menurut Mudzakir jika PK tetap dipaksakan, maka langkah itu dipastikan cacat hukum.
“Kesempatan akhir PK itu adanya pada milik terdakwa atau terpidana. Mengacu pada KUHAP jika jaksa mengajukan PK untuk kepentingannya, maka langkah tersebut tentu cacat hukum,” kata Mudzakir di Jakarta, Kamis (30/7/2020).
Penegasan itu disampaikan Mudzakir menanggapi PK yang dilakukan jaksa penuntut umum (JPU) atas perkara Cessie Bank Bali, Djoko Tjandra yang telah divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dan dimenangkan di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA).
Mudzakir menuturkan dalam proses penanganan perkara di pengadilan, JPU telah diberi kesempatan membuktikan dakwaannya mulai dari tingkat pertama hingga MA. Apabila JPU tidak dapat membuktikan dalilnya sebagaimana didakwakan, menurut Mudzakir, maka upaya JPU berhenti sampai di situ.
“Azas prinsipnya tidak boleh PK, karena jaksa sudah diberikan kesempatan dari pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung,” ucap Mudzakir.
Mudzakir menambahkan JPU mengajukan PK memang pernah terjadi. Namun, upaya PK itu untuk kepentingan korban, terdakwa atau terpidana. Artinya JPU mengajukan PK karena ada putusan yang melupakan hak dan kepentingan korban.
“Itu (PK) bisa dilakukan jaksa untuk kepentingan korban, maka dengan PK itu putusan pengadilan akan diluruskan kembali agar sesuai dengan prinsip on the track keadilan dalam rangka pengambilan keputusan,” ungkap Mudzakir.
Mudzakir mencontohkan, perkara mantan Danjen Kopasus Muchdi PR yang ketika itu jaksa melakukan upaya PK alasannya demi kepentingan korban. Mudzakir menekankan ruang kewenangan bagi jaksa mengajukan PK tidak dibuka jika bertujuan memberatkan terdakwa, atau terpidana.
Terkecuali, bermaksud meringankan terdakwa atas kesalahan jaksa sehingga perlu diluruskan kembali agar pengadilan mengubah hukuman yang tepat dan menguntungkan terdakwa.
Merujuk kepada asas legalitas dalam fungsi nagatif yang terkandung dalam Pasal 3 KUHAP, maka Pasal 263 ayat (1) KUHAP bermakna bahwa jaksa dilarang mengajukan PK terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Berikutnya, hak PK berdasarkan Pasal 263 KUHAP adalah terpidana atau keluarga ahli warisnya, sehingga tidak ada dasar hukum bahwa jaksa mengajukan PK.
Namun, dua hal tersebut dilanggar oleh jaksa dalam kasus Djoko Tjandra. PK oleh JPU diterima dan dikabulkan MA dengan putusan 12 PK/Pid.Sus/2009 11 Juni 2009. Amar putusan PK itu berbunyi mengabulkan permohonan PK oleh JPU pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Jaksel.
Dalam kasus cessie Bank Bali, PN Jaksel lewat putusan no. 156/Pid.B/2000/PN Jak.Sel melepaskan Djoko dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtsvervolging) alias bebas murni. Putusan tersebut diperkuat MA melalui 1688K/Pid/2000 pada 28 Juni 2001 dengan amar putusan menolak permohonan kasasi dari JPU pada Kejari Jaksel.
Sumber: BeritaSatu.com