Jakarta, Beritasatu.com - Putusan Mahkamah Agung (MA) No 12/PK/Pid.Sus/2009 pada 11 Juni 2009 yang mengabulkan peninjauan kembali (PK) Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus cessie Bank Bali, di mana putusan itu akhirnya memutuskan bahwa Djoko S Tjandra bersalah dan memutus hukuman penjara dua tahun, dinila tidak memiliki kekuatan konstitusional.
Pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin, Jumat (31/7/2020) mengatakan, putusan MA No 12/PK/Pid.Sus/2009 pada 11 Juni 2009 yang mengabulkan PK Jaksa Penuntut Umum tidak bisa dieksekusi. Pasalnya, dijelaskan Irman, keputusan MK No 33/PUU-XIV/2016 terkait istri Djoko Tjandra Anna Boentaran menguji Pasal 263 KUHP, yang mana seharusnya PK hanya boleh diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.
Namun kenyataannya, JPU dapat mengajukan PK setelah Djoko Tjandra diputus bebas dari tuntutan hukum oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 156/Pid.b/2000/PN.Jak.Sel dan dikuatkan oleh putusan MA 1688K/Pid/2000.
"MK (dalam putusan 33/PUU-XIV/2016) menyatakan norma ini adalah konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain, bahwa PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Dan, tidak boleh diajukan terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum," kata Irman.
Untuk itu, Irman mengatakan, jika tafsir dalam Pasal 263 KUHAP dimaknai berbeda, maka bakal menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan dan justru menjadikannya inskonstitusional.
Oleh karena itu, putusan kasasi MA No 1688K/Pid/2000 tertanggal 28 Juni 2001 yang menolak kasasi Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan adalah penguatan bahwa Djoko Tjandra lepas dari tuntutan hukum karena perbuatan yang didakwaan terbukti, tetapi bukan tindak pidana.
Seperti diketahui, Djoko Tjandra harus dieksekusi berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) mengacu pada keputusan MA Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 yang menerima PK Kejaksaan yang menyatakan Djoko Tjandra bersalah dan divonis hukuman 2 tahun penjara serta menyerahkan uang dari Bank Bali sebesar Rp 546,166 miliar ke kas negara.
Sumber: BeritaSatu.com