Jakarta, Beritasatu.com - Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 1 Tahun 2020 yang dapat dijadikan pedoman hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap koruptor. Perma ini salah satu tujuannya adalah memperkecil disparitas hukuman koruptor.
Dalam Perma tersebut diatur cukup jelas jenjang atau bobot kategorisasi hukuman. Yang paling berat, penentuan jumlah kerugian negara Rp 100 miliar lebih dengan hukuman penjara seumur hidup
Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Liona Nanang Supriatna, menilai, Perma No. 1 Tahun 2020 di samping dapat memperkecil disparitas (perbedaan) hukuman pada kasus tindak pidana korupsi juga diharapkan memiliki efek jera terhadap para koruptor serta efek preventif (pencegahan).
"Namun demikian Peraturan ini memiliki kelemahan atau bertentangan dengan tujuan pemidanaan, terutama ancaman hukuman mati bagi koruptor," kata Liona Nanang, di Jakarta, Selasa (4/8/2020).
Menurutnya, hukuman mati tentunya bertentangan dengan hak asasi manusia seperti yang diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 I (2). Dalam UU tersebut secara tegas menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak tuntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dikatakan, MA telah membuat kategorisasi hukuman berdasarkan tingkat kerugian negara berdasarkan akibat kejahatan terhadap perbuatan korupsi yang menyebabkan penderitaan yang diakibatkan. Misalnya koruptor Rp 10 miliar tentu akibat perbuatannya tidak semasif korupsi Rp 100 miliar.
"Seumpama dengan uang Rp 10 miliar bisa membangun 10 rumah sakit, dan Rp 100 miliar dapat membangun 100 rumah sakit sehingga kerugian yang diderita oleh rakyat jauh lebih besar dan merata," ucapnya.
Dengan adanya batas minimal, walaupun cukup tinggi hukumannya masih terdapat celah untuk tawar menawar agar dijatuhkan secara minimal. Namun ketentuan ini jauh lebih baik daripada tidak diatur sama sekali.
Menurutnya, dasar hukum MA mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 2020, karena seringkali terjadinya perbedaan penjatuhan hukuman oleh para Hakim Tipikor dalam perbuatan yang relatif sama, namun berbeda dalam hukumannya.
"Kerancuan dalam praktik sering terjadi dalam hal kerugian negara lebih kecil dipidana lebih berat begitu juga sebaliknya dalam hal kerugian negara lebih besar dipidana lebih ringan," katanya.
Sesuai dengan Pasal 24 A UUD NRI 1945 MA tentunya memiliki kewenangan untuk mengadili pada tingkat Kasasi, menguji peraturan perundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang juga memiliki wewenang lainnya yang diberikan undang-undang.
Pasal 8 (1) Undang Undang No 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Undang Undang menetapkan bahwa jenis peraturan dan hirarki peraturan selain yang diatur dalam Pasal 7 (1) juga mencakup antara lain Peraturan Mahkamah Agung.
Sedangkan Pasal 2 menegaskan bahwa peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Kemudian berdasarkan UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, Pasal 38 mengatur bahwa Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberikan petunjuk kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 79 Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang.
Sumber: BeritaSatu.com