Jakarta, Beritasatu.com - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 6 tahun pidana penjara dan denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan terhadap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Majelis Hakim menyatakan, Wahyu terbukti secara sah dan meyakinkan bersama-sama mantan Anggota Bawaslu yang juga kader PDIP, Agustiani Tio Fridelina menerima suap dari kader PDIP Saeful Bahri.
Suap itu diberikan agar Wahyu mengusahakan KPU menetapkan Harun Masiku sebagai anggota DPR melalui pergantian antarwaktu (PAW) menggantikan caleg terpilih dari PDIP atas nama Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.
Selain suap terkait PAW Anggota DPR, Majelis Hakim menyatakan Wahyu juga terbukti menerima uang sebesar Rp 500 juta terkait seleksi anggota KPU Daerah Papua Barat periode 2020-2025. Uang diberikan melalui Sekretaris KPU Provinsi Papua Barat, Rosa Muhammad Thamrin Payapo.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Wahyu Setiawan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut," kata Ketua Majelis Hakim Susanti Arsi Wibawani saat membacakan amar putusan terhadap Wahyu Setiawan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (24/8/2020).
Sedangkan terhadap Agustiani Tio Fridelina, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman 4 tahun pidana penjara dan denda Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dua oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan pidana denda Rp 150 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tidak dibayar maka akan diganti pidana kurungan selama 4 bulan," kata Majelis Hakim.
Hukuman terhadap Wahyu lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelumnya, Jaksa menuntut Wahyu untuk dihukum 8 tahun pidana penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan serta dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih sebagai pejabat publik selama 4 tahun setelah selesai menjalani pidana.
Dalam menjatuhkan hukuman ini, Majelis Hakim mempertimbangkan sejumlah hal yang meringankan dan memberatkan. Untuk hal yang meringankan, Majelis Hakim menyatakan Wahyu dan Agustiani dinilai telah bersikap sopan selama proses persidangan dan punya tanggungan keluarga.
Sementara untuk hal yang memberatkan, Majelis Hakim menyatakan, Wahyu dan Agustiani Tio tidak mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemerintah yang bebas dari korupsi. Wahyu dan Agustiani Tio juga telah menikmati hasil kejahatannya.
"Perbuatan para Terdakwa berpotensi menciderai hasil pemilu sebagai proses demokrasi yang berlandaskan pada kedaulatan rakyat," kata Hakim.
Dalam putusannya, Majelis Hakim tidak sependapat dengan tuntutan jaksa untuk mencabut hak politik Wahyu Setiawan namun Majelis Hakim sependapat dengan jaksa untuk menolak permohonan Justice Collaborator (JC) yang diajukan Wahyu Setiawan dalam persidangan pada 20 Juli 2020 lalu. Majelis Hakim menilai Wahyu tidak memenuhi syarat sebagai JC yang tertuang dalam SEMA 4/2011 karena merupakan pelaku utama dalam penerimaan suap dari Saiful Bahri.
Dakwaan
Dalam surat dakwaan, perkara suap pengurusan PAW Anggota DPR yang menjerat Wahyu dan Agustiani Tio bermula saat caleg PDIP untuk daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan I, Nazarudin Kiemas meninggal dunia pada 26 Maret 2019 atau sebelum hari pemungutan suara Pemilu 2019 digelar. DPP PDIP saat itu menyampaikan kepada KPU perihal meninggalnya Nazaruddin Kiemas dan meminta agar nama Nazarudin Keimas dicoret dari daftar calon tetap. Namun namanya tetap tercantum dalam surat suara.
Pada 21 Mei 2019, KPU menetapkan rincian rekapitulasi perolehan suara dari PDIP untuk Dapil Sumsel 1 PDIP, di antaranya caleg Nazaruddin Kiemas memperoleh 0 suara; Riezky Aprilia memperoleh 44.402 suara; dan Harun Masiku dengan perolehan suara sah 5.878.
Sekitar bulan Juli 2019 PDIP menggelar pleno yang memutuskan Harun Masiku ditetapkan sebagai calon pengganti terpilih yang menerima pelimpahan suara dari Nazarudin Kiemas sebanyak 34.276 suara. Atas dasar rapat pleno itu Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto memerintahkan kuasa hukum PDIP, Donny Tri Istoqomah berkirim surat ke KPU.
Mengetahui hal tersebut, Harun Masiku langsung menemui Saeful Bahri meminta tolong agar dirinya bisa menggantikan Riezky Aprilia yang ditetapkan KPU sebagai caleg terpilih dengan cara apapun.
Kemudian, PDIP mengirim surat kepada KPU berdasarkan putusan Mahkamah Agung No.57P/HUM/2019 yang pada pokoknya meminta suara sah Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku namun KPU tidak mengakomodir permohonan DPP PDIP karena dinilai tidak sesuai dengan perundang-undangan.
Sumber: BeritaSatu.com