Jakarta, Beritasatu.com - Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Teddy Anggoro mengaku tidak berani mengatakan menolak RUU Cipta Kerja. Pasalnya, Teddy melihat RUU Cipta Kerja berdampak positif sedikitnya pada tiga undang-undang yang dia kuasai.
Pertama, kata Teddy, dampak positif terhadap Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT). Dampak tersebut adalah dengan Omnibus Law Cipta Kerja, UMKM dapat didirikan oleh satu orang, modal dasar ditentukan oleh pendiri, didirikan berdasarkan surat pernyataan, tidak perlu akta pendirian notarial.
"Kemudian perubahan PT cukup dengan pernyataan pemegang saham, pembubaran cukup dengan pernyataan pembubaran, dibebaskan dari segala biaya terkait pendirian badan hukum, kemudahan perizinan UMKM, serta adanya aturan tentang kemitraan dan insentif. Hal-hal tersebut membuat kesempatan untuk membuka usaha dan berkembang lebih merata," ujar Teddy saat menjadi penanggap dalam Webinar bertema Peluang dan Tantangan RUU Cipta Kerja yang diselenggarakan Injabar dan Universitas Padjajaran, Jumat (28/8/2020).
Kedua, kata Teddy, dampak terhadap UU Persaingan Usaha, antara lain, upaya hukum keberatan sekarang diajukan ke pengadilan niaga yang sebelumnya diajukan ke pengadilan negeri. Kemudian, hukuman administrasi berupa denda ditingkatkan menjadi maksimal Rp 100 miliar dari sebelumnya hanya Rp 25 miliar, dan penghapusan sanksi pidana.
"Ketiga dampak terhadap UU BUMN, BUMN akan diberikan penugasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi penelitan dan pengembangan serta inovasi, sebelumnya BUMN hanya menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum. Jadi, RUU Cipta Kerja sangat luar biasa dari sisi pengembangan UMKM, kompetisi, dan pengembangan BUMN," ungkapnya.
Lebih lanjut, Teddy mengatakan, dari sisi legislasi, UU memang wajib mendengarkan partisipasi publik, namun bukan serta merta ditolak. Dia juga berharap, setelah RUU Cipta Kerja, bisa dilanjutkan ke Omnibuslaw dukungan kerja, seperti kemudahan permodalan, proses penyelesaian utang piutang yang sederhana dan pas, serta dukungan pemasaran luar negeri.
Teddy mengaku heran jika ada yang menolak RUU Cipta Kerja. Menurut dia, serikat buruh juga tidak menolak semua isi dari RUU Cipta Kerja. Namun, kata dia, ada persepsi seolah serikat buruh menolak semua isi RUU Cipta Kerja.
"Kalau ada lembaga negara yang menolak itu menurut saya missleading, atau akademisi yang menolak keseluruhan itu saya heran," ujar Teddy.
Menurut Teddy, RUU Cipta Kerja masih bisa dibahas apalagi kalau ada isu yang bermasalah dari 11 klaster isu dalam RUU tersebut. Namun, kata dia, publik tidak boleh cepat mengambil kesimpulan langsung menolak jika hanya ada satu isu yang bermasalah.
"Apalagi pintu untuk dialog, diskusi membahas masalah tersebut terbuka secara luas. Jika setelah disahkan masih ada yang merasa dirugikan, masih bisa diajukan uji materi maupun uji formil," tutur dia.
Dalam pemaparannya, Teddy mengutip sejumlah data bahwa antara Tahun 2015-2017 terdapat pemangkasan 50 persen dari 42 ribu regulasi di Indonesia. Pada level pusat ada 427 regulasi yang dideregulasi. Selain itu, melalui paket ekonomi 1-15, terdapat 213 aturan yang dideregulasi dan 3.143 regulasi yang dibatalkan.
Sumber: BeritaSatu.com