Jakarta, Beritasatu.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengecam putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang menyunat hukuman mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip.
Dalam amar putusan PK, MA menjatuhkan hukuman 2 tahun pidana penjara terhadap Sri Wahyumi. Padahal, Sri Wahyumi sebelumnya dihukum 4 tahun 6 bulan pidana penjara.
"ICW mengecam putusan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung yang justru mengurangi hukuman terhadap mantan Bupati Kepulauan Talaud, Sri Wahyumi. Sejak awal yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman selama 4 tahun 6 bulan penjara, tetapi karena putusan PK tersebut malah dikurangi menjadi hanya 2 tahun penjara," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Senin (31/8).
Bukan tanpa alasan kecaman itu disampaikan. ICW menilai, putusan PK itu sangat janggal sebab hukuman perantara suap dalam perkara itu yakni Benhur Lalenoh lebih tinggi dibandingkan dengan hukuman terhadap Sri Wahyumi yang merupakan penyelenggara negara dan menjadi dalang dari tindak pidana korupsi.
"Sebagaimana diketahui, Benhur yang merupakan perantara suap Bupati Kepulauan Talaud dijatuhi pidana selama 4 tahun penjara," kata Kurnia.
Bahkan, Kurnia menyatakan, vonis PK tersebut jauh lebih rendah dibandingkan hukuman terhadap Abdul Latif yang merupakan Kepala Desa di Kabupaten Cirebon yang dihukum selama 4 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dana desa sebesar Rp 354 juta. Namun, ICW mengaku tak lagi kaget dengan putusan tersebut. ICW menilai sejak awal MA tidak menunjukkan keberpihakannya pada sektor pemberantasan korupsi.
"Tren vonis pada tahun 2019 membuktikan hal tersebut, rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara.Tentu ini semakin menjauhkan efek jera bagi pelaku korupsi," kata Kurnia.
Kurnia mengatakan, dalam konteks PK, Ketua MA harusnya selektif untuk memilih Majelis yang akan menyidangkan perkara pada tingkat PK.
Dikatakan, semestinya hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan terhadap pelaku korupsi tidak lagi dilibatkan.
"Tak hanya itu, klasifikasi korupsi sebagai extraordinary crime seharusnya dapat dipahami dalam seluruh benak Hakim Agung, ini penting agar di masa yang akan datang putusan-putusan ringan tidak lagi dijatuhkan," katanya.
Dalam kesempatan ini, ICW juga meminta tren “sunat hukuman” di tingkat PK menjadi perhatian khusus Ketua MA. Berdasar data ICW sejak Maret 2019 sampai dengan saat ini setidaknya MA telah mengurangi hukuman sebanyak 11 terpidana kasus korupsi di tingkat PK.
"Jika ini terus menerus berlanjut maka publik tidak lagi percaya terhadap komitmen MA untuk memberantas korupsi," kata Kurnia.
Kurnia menambahkan, pihaknya pun minta kepada MA agar menolak 20 permohonan PK yang sedang diajukan oleh para terpidana kasus korupsi.
"Sebab, bukan tidak mungkin PK ini hanya akal-akalan sekaligus jalan pintas agar pelaku korupsi itu bisa terbebas dari jerat hukum," tegasnya.
Sumber: BeritaSatu.com