Jakarta, Beritasatu.com - Dirjen Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Wikan Sakarinto mengatakan konsep dasar pendidikan vokasi adalah link and match dengan industri. Untuk memperkuat link and match, pendidikan vokasi wajib memenuhi empat indikator minimal.
Hal tersebut disampaikan Wikan pada acara "BeritaSatu CEO Power Breakfast" dengan bertajuk "Kolaborasi Industri dan Perguruan Tinggi Membangun Ekosistem Kampus Merdeka" di Hotel Arya Duta, Jakarta, Kamis (10/9).
Pertama,industri dilibatkan dalam penyusunan kurikulum pendidikan vokasi, baik untuk pendidikan tinggi, yakni politeknik, maupun sekolah menengah kejuruan (SMK). Tujuannya, kurikulum pendidikan vokasi lebih fleksibel, sehingga lulusan pendidikan vokasi sesuai dengan kebutuhan industri karena dirancang bersama sejak awal.
“Kurikulum harus disusun bersama dan disetujui bersama dan tidak boleh kurikulum itu dibikin sendiri dan tidak ada industri. Kalau perlu, training di industri itu masuk dalam kurikulum,”katanya.
Kedua, industri harus terlibat dalam sebagai tenaga pengajar. Wikan menyebutkan, pihaknya akan mengeluarkan peraturan dirjen untuk mengatur jam mengajar bagi tenaga profesional. Dosen atau guru tamu dari industri minimal mengajar 50 jam hingga 100 jam per semester pada setiap program studi (prodi) vokasi. Dengan begitu, tenaga pengajar di SMK dan politeknik juga berasal dari tenaga profesional di dunia industri.
Ketiga, minimal magang selama satu semester di industri dan mendapatkan sertifikat lulus magang, serta keempat, sertifikat kompetensi, sehingga lulusan pendidikan vokasi tidak hanya mendapat ijazah, juga sertifikatuji kompetensi yang diakui industri dan dunia kerja.
“Empat hal itu menjadi satu kesepakatan bersama untuk menghadirkan sumber daya yang diinginkan oleh industri. Jangan sampai pendidikan vokasi memasak SDM yang tidak dibutuhkan industri,” ucapnya.
Riset
Mantan dekan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menyebutkan, selain empat hal tersebut, pihaknya juga mendorong adanya teaching industry atau factory, yakni riset di vokasi. Riset yang dilakukan di pendidikan vokasi fokus untuk menyelesaikan permasalahan riil di industri dan masyarakat. Riset tersebut kemudian dihilirkan ke industri atau ke pasar, sehingga riset vokasi bukan berupa publikasi, tetapi produk nyata dan paten hak kekayaan intelektual.
“Ini adalah konsep link and match yang kita dorong. Seluruh pendidikan vokasi se-Indonesia harus melakukan ini,” kata Wikan.
Persyaratan link and match buat pendidikan vokasi akan menguntungkan industri tidak mengeluarkan anggaran lagi. Industri hanya mengeluarkan akomodasi ketika melakukan kunjungan ke kampus atau SMK. Namun, industri yang mengalokasikan anggaran untuk pendidikan vokasi, akan mendapat insentif pengurangan pajak.
Untuk mewujudkan link and match, Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi telah mengalokasikan anggaran Rp 3,5 triliun untuk program pengembangan. Anggaran tersebut untuk mendanai beberapa kebijakan pendidikan vokasi, di luar anggaran gaji dan program rutin lainnya.
“Jadi di sini saya belum bilang industri harus terlibat menyediakan beasiswa dan sumbangan peralatan laboratorium," ujar Wikan.
Lebih jauh dikatakan, link and match tidak hanya sebatas seremoni penandatanganan memorandum of understanding (MoU), tetapi harus diikuti kegiatan-kegiatan kolaborasi dan sinergisitas yang saling menguntungkan dan sampai menghasilkan SDM unggul dan kompeten. Saat ini telah ada Rumah Vokasi yang diisi oleh para pakar yang akan menjadi pengarah dan diharapkan dapat memberikan masukan, rekomendasi, dan fasilitasi dalam pengembangan pendidikan vokasi.
Sumber: BeritaSatu.com