Jakarta, Beritasatu.com – Benny Tjokrosaputro membantah adanya aksi pump and dump (goreng saham) saham PT Hanson International Tbk (MYRX) miliknya pada Agustus 2016. Benny menyebut, saat itu emiten tersebut merealisasikan aksi korporasi berupa stock split atau pemecahan nilai saham.
Hal itu dikatakan Benny Tjokrosaputro saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/9/2020). Selain Benny, saksi lainnya yang dihadirkan dalam persidangan tersebut, yakni Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto yang juga terdakwa perkara ini.
“Tahun 2016, kalau tidak salah bulan Agustus. Itu stock split, bukan pump and dump,” kata Benny saat ditanya terdakwa mantan GM Investasi dan Kadiv Investasi PT Asuransi Jiwasraya, Syahmirwan.
Benny menjelaskan, saat itu MYRX merealisasikan stock split dengan rasio 1:5. Artinya, nilai saham itu dipecah menjadi lima kali lebih kecil dibandingkan harga saat itu. Menurut Benny yang merupakan pemilik MYRX, sebelum stock split, harga saham MYRX mencapai Rp 600-an per lembar saham. Setelah melakukan aksi korporasi itu, jelas dia, nilainya berkisar Rp 120 hingga Rp 130 per lembar saham.
“Dari harga Rp 600 sekian. Karena split menjadi lima kali sekitar Rp 120-an atau Rp 130-an. Jadi, bukan pump and dump yang setiap kali digambar oleh bapak-bapak JPU (Jaksa Penuntut Umum),” katanya.
Benny mengakui stock split menyebabkan penurunan harga saham dalam waktu seketika. Namun, nilai intrinsik saham tidak mengalami perubahan. Dicontohkan, 1 juta lembar saham dengan harga Rp 600 per lembar memiliki nilai total Rp600 juta. Dengan melakukan stock split dengan rasio 1:5, harga saham per lembar mencapai 120, tetapi nilai totalnya tetap sama yakni Rp600 juta.
“Bukan (pump and dump). Karena nilai intrinsiknya sama. Justru kalau tidak turun (harga saham per lembar) aneh. Orangnya jadi tambah kaya lima kali lipat kan. Tidak masuk akal itu,” kata Benny.
Istilah pump and dump merujuk pada pola ‘menggoreng saham’ yang dikenal oleh pelaku pasar modal. Aksi tersebut dilakukan oleh satu atau beberapa pihak di pasar untuk meningkatkan secara signifikan harga ‘saham yang digoreng’. Dengan demikian, harganya bukan lagi ditentukan secara normal oleh mekanisme pasar. Kenaikan harga ‘saham gorengan’ itu pun umumnya tidak didukung oleh fakta material. Ketika banyak investor lain yang masuk, mereka dengan satu hentakan langsung membanjiri pasar dengan order jual sehingga harga saham tersebut kembali turun dan pihak-pihak yang 'menggoreng saham' sudah meraih untung berlimpah. Terhadap saham-saham yang perubahan harganya sangat mencolok, Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai pengawas pasar mengingatkan investor melalui mekanisme yang disebut Unusual Market Activity (UMA).
Benny mengeluhkan istilah goreng saham atau pump and dump seringkali disampaikan dari JPU dalam perkara Asuransi Jiwasraya atas aksi korporasi yang dilakukan MYRX. Benny menegaskan tidak ada goreng saham yang dilakukan pihaknya.
“Itu stock split, bukan pump and dump. Bukan (Jiwasraya). Tidak ada nge-dump sama sekali,” tegasnya.
Diketahui, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Direktur Utama PT Hanson Internasional Benny Tjokrosaputro dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat serta empat terdakwa lainnya melakukan korupsi terkait pengelolaan dana PT Asuransi Jiwasraya.
Atas perbuatan Benny dan Heru bersama empat terdakwa lain, keuangan negara menderita kerugian hingga sebesar Rp 16,8 triliun berdasarkan audit BPK tanggal 9 Maret 2020.
Empat terdakwa lain perkara ini dengan surat dakwaan terpisah, yaitu, Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto, mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Hary Prasetyo dan eks Kepala Divisi Investasi PT Asuransi Jiwasraya Syahmirwan.
Jaksa membeberkan, Benny Tjokro melakukan kesepakatan bersama dengan petinggi PT Asuransi Jiwasraya untuk melakukan transaksi penempatan saham dan reksa dana perusahaan asuransi tersebut. Kesepakatan itu dilakukan dengan tidak transparan dan akuntabel.
Tiga petinggi Jiwasraya, Hendrisman Rahim, Hary dan Syahmirwan juga didakwa melakukan pengelolaan investasi tanpa analisis yang objektif, profesional dan tidak sesuai nota interen kantor pusat. Jaksa menyebut analisis hanya dibuat untuk formalitas.
Hendrisman, Hary dan Syahwirman juga disebut membeli saham sejumlah perusahaan tanpa mengikuti pedoman investasi yang berlaku. Ketiga terdakwa disebut Jaksa membeli saham melebihi 2,5% dari saham perusahaan yang beredar.
Keenam terdakwa dan pihak terafiliasi juga telah bekerja sama untuk melakukan transaksi jual-beli saham sejumlah perusahaan dengen tujuan inventarisasi harga. Hal tersebut pada akhirnya tidak memberikan keuntungan investasi dan tidak dapat memenuhi kebutuhan likuiditas guna menunjang kegiatan operasional.
Jaksa mengatakan, Hendrisman bersama-sama Hary Prasetyo, Syahmirwan, Heru Hidayat dan Benny melalui Joko Hartono mengatur dan mengendalikan 13 Manajer Investasi dengan membentuk produk reksa dana khusus untuk PT Asuransi Jiwasraya. Hal ini dilakukan agar pengelolaan instrumen keuangan yang menjadi underlying reksa dana PT Asuransi Jiwasraya dapat dikendalikan oleh Joko Hartono Tirto.
Jaksa juga menyebut Heru, Benny dan Joko turut memberikan uang, saham dan fasilitas lain kepada tiga petinggi Jiwasraya. Pemberian dilakukan terkait pengelolaan investasi saham dan reksadana di perusahaan tersebut selama 2008-2018.
Atas perbuatannya, keenam terdakwa didakwa melanggar melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 dan atau Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b, Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (3) UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Selain didakwa melakukan tindak pidana korupsi, Benny Tjokro dan Heru Hidayat juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Sumber: BeritaSatu.com