Jakarta, Beritasatu.com - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menggemukakan sanksi terhadap pasangan calon (Paslon) peserta Pilkada 2020 yang melanggar protokol kesehatan harus komprehensif dan terkoneksi dengan berbagai regulasi terkait lainnya. Pemberian sanksi tidak bisa hanya mengandalkan UU tentang Pilkada karena ruang lingkup yang diatur sangat terbatas.
"Tidak cukup hanya mengandalkan sanksi Pilkada saja. Sebab pengaturan sanksi dalam regulasi Pilkada yang ada saat ini sangat terbatas," kata Titi di Jakarta, Rabu (16/9/2020).
Ia menanggapi pernyataan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Ratna Dewi Pettalolo yang menyebut sanksi kepada pelanggar protokol kesehatan bersifat administratif. Alasannya, acuan yang dipakai dalam menindak para pelanggar bukan Undang-Undang (UU) tetapi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Menurutnya, ketentuan dalam PKPU No 6 Tahun 2020 masih ada kekurangan karena tidak detail menyebut bentuk sanksi administratif yang diberikan kepada pelanggar. Misalnya, apakah jika terbukti melanggar lalu diberi sanksi berupa penghentian kampanye, pengurangan jatah kampanye atau hingga diskualifikasi.
“Ini yang masih perlu diperbaiki. Karena tidak mungkin kami memberikan sanksi yang sesungguhnya tidak diatur. Nanti bisa melanggar hukum dan digugat kalau sanksinya tidak tepat,” jelas Dewi di Jakarta, Selasa (15/9/2020).
Titi menyebut aturan-aturan lain yang bisa digunakan untuk menindak para pelanggar protokol kesehatan adalah UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Semua pihak terkait yang memiliki kewenangan dengan lahirnya dua UU tersebut harus proaktif agar dalam melakukan penindakan. Tidak perlu menunggu respon penyelenggara Pilkada dalam menindak pelanggar protokol kesehatan.
"Jadi integrasi kewenangan antar pihak yang punya otoritas penegakan hukum atas pelanggaran protokol kesehatan harus dilakukan. Baik dalam skup Pilkada maupun dalam konteks penegakan hukum umum," ujar Titi.
Dia juga mengusulkan agar sanksi pelanggaran protokol kesehatan dari aspek pemilihannya, diperkuat dengan sanksi administrasi tambahan. Misalnya berupa pelarangan atau pencabutan hak berkampanye bagi kandidat yang melakukan atau membiarkan terjadinya pelanggaran protokol kesehatan di Pilkada.
Di tempat terpisah, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow menilai jika sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan hanya diatur di PKPU, memang ada keterbatasan. Dengan landasan PKPU, paling berat hanya sampai pada pelarangan Paslon untuk terlibat dalam tahap yang sedang berlangsung atau tahapan berikutnya.
Agar efektif, dia sependapat dengan Titi bahwa harus ada sinergi dengan pihak lain. Kepolisian dan Kejaksaan Agung harus juga pro aktif untuk menindak pelanggar.
"Memang penegakan hukum terkait pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 agak dilematis, punya keterbatasan dan kurang kuat dasar hukumnya. Agar dia bisa efektif maka perlu ada sinergi diantara penyelenggara pilkada dan lembaga penegak hukum terkait pelanggaran protokol kesehatan Covid-19," tutur Jeirry.
Dia juga meminta agar PKPU No 6 Tahun 2020 segera direvisi dengan memasukan sanksi tegas dan keras bagi pelanggar protokol covid. Hal itu supaya punya landasan kuat dalam menindak para pelanggar.
Sumber: BeritaSatu.com