Jakarta, Beritasatu.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan keprihatinan atas maraknya pengurangan hukuman terpidana korupsi melalui putusan Peninjauan Kembali (PK). Sejak 2019 hingga saat ini, terdapat 23 terpidana korupsi yang hukumannya dikurangi MA melalui putusan PK.
Terakhir, MA mengabulkan PK yang diajukan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Dalam amar putusannya majelis PK MA menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara terhadap terpidana kasus korupsi pembangunan Pusat Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang dan tindak pidana pencucian uang tersebut. Dengan demikian, hukuman Anas berkurang 6 tahun dibanding putusan kasasi yang menghukumnya 14 tahun penjara.
Plt Jubir KPK, Ali Fikri mengatakan, 'sunatan masal' hukuman koruptor di tingkat PK menjadi cerminan belum adanya kesamaan komitmen dan visi setiap lembaga penegak hukum dalam memandang pemberantasan korupsi. Padahal, korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
"Bagi KPK ini cerminan belum adanya komitmen dan visi yang sama antar aparat penegak hukum dalam memandang bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa," kata Ali Fikri, Kamis (1/10/2020).
KPK mengakui, permohonan PK merupakan hak terpidana atau ahli warisnya. Namun, KPK menegaskan, masyarakat akan menilai rasa keadilan dari setiap putusan majelis hakim PK Mahkamah Agung. Apalagi, masyarakat merupakan korban dari tindak pidana korupsi.
"Kami tegaskan kembali sekalipun PK adalah hak dari terpidana sebagaimana yang ditentukan UU namun pada gilirannya masyarakat juga akan ikut mengawal dan menilai rasa keadilan pada setiap putusan Majelis Hakim tersebut maupun terhadap kepercayaan MA secara kelembagaan," katanya.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menyatakan, permohonan PK merupakan hak terpidana yang diatur dalam aturan perundang-undangan. Dikatakan, apapun putusan Majelis PK merupakan independensi hakim yang harus dihormati. Namun, kata Jaja, apabila ada indikasi terganggunya independensi hakim tersebut, maka berpotensi ada pelanggaran etik.
"Tentunya pengajuan PK adalah hak terpidana sesuai yang diatur dalam uu hukum acara pidana. Apabila ada putusan PK yang subtansi putusannya menambah hukuman atau ada pengurangan adalah independensi hakim. Namun apabila ada gangguan atas independensinya, misalnya faktor integritas maka betpitensi ada pelanggaran etik," kata Jaja.
Jaja mengatakan, selama hakim memutus sebuah perkara dengan independen, apapun putusannya harus dihormati oleh pihak manapun.
"Sekali lagi ditegaskan kalau sepanjang hakim itu independensi tidak terganggu setiap putusan hakim apapun isinya harus dihormati," katanya.
Sumber: BeritaSatu.com