Jakarta, Beritasatu.com – Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra segera duduk di kursi pesakitan. Pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat, 27 Agustus 1950 tersebut akan menghadapi sidang perdananya terkait kasus kasus penggunaan surat jalan palsu. Selain itu, Djoko Tjandra juga diseret ke meja hijau atas kasus hilangnya red notice Interpol, termasuk kasus pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA). Kasus terakhir, ditangani Korps Adhyaksa.
Polri menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus surat jalan palsu yakni Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo, advokat Anita Kolopaking, dan Djoko Tjandra. Ketiganya dijerat dengan Pasal 263 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, Pasal 426 KUHP, Pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP, dan Pasal 223 KUHP. Sementara pada kasus suap red notice, Polri menjerat empat tersangka yang berperan sebagai pemberi suap dan penerima suap.
Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi bertindak sebagai pemberi suap, sedangkan Inspektur Jenderal (Irjen) Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo selaku penerima. Sekadar diketahui, pemberi suap dikenakan Pasal 5 ayat 1 juncto Pasal 13 Undang-Undang (UU) 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Berikutnya, penerima dijerat Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 dan Pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Secara kumulatif, Djoko Tjandra bisa divonis 10 tahun penjara. Ini baru dua kasus di Polri, belum jika ditambah dengan kasus penyuapan soal fatwa MA yang melibatkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Ancaman pidananya 5 tahun. Aksi “akrobatik” Djoko Tjandra yang terkesan mengacak-acak institusi penegak hukum sejatinya terkait dengan kasus hak tagih Bank Bali. Djoko Tjandra berharap dapat terhindar dari hukuman 2 tahun.
Alih-alih lolos dari jeratan itu, Djoko Tjandra justru berpotensi mendekam di jeruji besi lebih lama. “Djoko Tjandra tidak hanya harus menghuni penjara 2 tahun. Karena tingkahnya, dia bisa diberi hukuman-hukuman yang jauh lebih lama. Dugaan pidananya antara lain, penggunaan surat palsu dan penyuapan kepada pejabat yang melindunginya. Pejabat-pejabat yang melindunginya pun harus siap dipidanakan. Kita harus kawal ini,” tegas Menko Polhukam Mahfud MD pada 1 Agustus 2020.
Motif Prasetijo membantu Djoko Tjandra telah diungkap Polri. Prasetijo disebut menerima suap 20 ribu USD atau setara dengan Rp300 juta. Meskipun dalam perkembangannya terungkap bahwa ada permintaan uang lebih banyak daripada itu, khususnya dalam klaster red notice. Hal menarik dalam kasus red notice, Napoleon dan Tommy tidak ditahan polisi. Napoleon bahkan melawan penetapan dirinya sebagai tersangka dengan melakukan praperadilan.
Napoleon berkilah menerima uang dalam kasus ini. Polri menerangkan Napoleon memang tidak menerima pemberian uang 50 ribu USD dari Tommy. Namun, Napoleon meminta dan menerima sebesar Rp 7 miliar. Peristiwa ini terjadi pada medio April-Mei 2020. Sebagai realisasi, Napoleon memerintahkan Kombes Tommy Arya untuk membuat surat yang berkaitan dengan pencabutan red notice.
Surat tersebut diteken Brigjen Nugroho Slamet Wibowo selaku Sekretaris Interpol Polri. Saat kasus terungkap, Wibowo juga telah dicopot dari jabatannya, tetapi tidak dipidana sejauh ini. Napoleon pun dicopot dari posisinya sebagai Kadiv Hubungan Internasional Polri. Keduanya dinilai melanggar etik. Pencabutan red notice, membuat nama Djoko Tjandra sempat dihapus dari data perlintasan imigrasi. Kadiv Humas Polri Argo Yuwono menekankan adanya pelanggaran kode etik tersebut.
Perintah Presiden
Menjadi buronan selama 11 tahun tak membuat Djoko Tjandra kehilangan akal untuk masuk ke Indonesia. Pada 8 Juni 2020, sang Joker yang menjadi julukannya, mengejutkan publik. Namanya ramai diperbincangkan ketika mendaftarkan upaya Peninjauan Kembali (PK) atas vonis kasus hak tagih Bank Bali, ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel). Setelah itu, Djoko Tjandra ibarat permainan sulap kembali menghilang.
Operasi penangkapan pun disusun oleh Polri. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan Kapolri Jenderal Idham Azis untuk mengejar sekaligus menangkap Djoko Tjandra. “Atas perintah (Presiden) tersebut, Kapolri membentuk tim untuk kemudian menindaklanjuti perintah tersebut,” ungkap Kabareskrim Komisaris Jenderal (Komjen) Listyo Sigit Prabowo. Listyo memimpin langsung tim dan menelusuri keberadaan Djoko Tjandra.
Berdasarkan informasi yang dihimpun tim itu, Djoko Tjandra disinyalir berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Kemudian, Kapolri berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Polis Diraja Malaysia. Tim pun berangkat menuju Kuala Lumpur. Penangkapan Djoko Tjandra dilakukan Polis Diraja Malaysia yang kemudian diserahkan kepada Polri di wilayah teritori Indonesia pada 30 Juli 2020. Tim yang membawa Djoko Tjandra menumpangi pesawat dengan nomor registrasi PK RJP.
Djoko Tjandra tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pukul 22.48 WIB. Kapolri menegaskan penangkapan Djoko Tjandra merupakan bentuk komitmen Polri untuk menangkap koruptor buron. Polri membuktikan tidak akan pandang bulu untuk menyeret para pelaku kejahatan korupsi. “Sekali lagi ini bentuk komitmen kami. Kami akan transparan, objektif, untuk usut tuntas apa yang terjadi,” tegas Idham.
Idham mengapresiasi kinerja anak buahnya dalam proses penangkapan Djoko Tjandra. tim yang dipimpin oleh Kabareskrim, dinilai bekerja sangat baik. “Djoko Tjandra ini memang licik dan sangat pandai. Dia kerap berpindah-pindah tempat, tetapi alhamdulilah berkat kesabaran dan kerja keras tim Djoko Tjandra berhasil diamankan. Proses hukum Djoko Tjandra akan terus dikawal. Terbuka dan transparan serta tidak akan ditutup-tutupi,” ungkap Idham.
Berkas Lengkap
Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejagung telah menyerahkan berkas perkara tersangka surat jalan palsu ke Kejaksaan Negeri Jakarta Timur pada 28 September 2020. Penyerahan dilakukan setelah berkas ketiga tersangka dinyatakan lengkap atau P21 oleh JPU. Barang bukti yang diserahkan Polri kepada kejaksaan terdiri atas satu paspor milik Djoko Tjandra, 14 ponsel, 2 komputer, 1 lapor, 2 buku, 39 dokumen, dan 18 berita acara pemeriksaan digital.
Sementara berkas perkara dalam kasus red notice masih diperiksa jaksa dan belum dinyatakan P-21. Penyidik Polri melimpahkan berkas perkara red notice kepada JPU pada 2 September 2020. Namun, selang sepekan lebih, JPU memulangkan berkas tersebut lantaran dinilai belum lengkap. Selanjutnya, pada 21 September, penyidik kembali menyerahkan perbaikan berkas. Menarik untuk terus menanti perkembangan skandal Djoko Tjandra ini.
Sumber: BeritaSatu.com