Jakarta, Beritasatu.com - Aliansi Jurnalis Video (AJV) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Penyiaran yang diajukan RCTI dan INews. Permintaan itu disampaikan AJV dalam permohonan menjadi pihak terkait di MK dalam Perkara Nomor 39/PUU/XVIII/2020 Tentang pengujian Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 Tentang penyiaran yang dimohonkan RCTI dan iNews pada Rabu (7/10/2020) kemarin.
Selain meminta MK menolak permohonan RCTI dan INews, dalam permohonan menjadi pihak terkait yang didaftarkan oleh Mohammad Rudjito, Rival Anggriawan Mainur, Mohammad Ikhsan, dan Muhammad Radhitya Hawari dari Komisi Hukum AJV itu, AJV juga meminta MK menyatakan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran konstitusional dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat sesuai dengan Konstitusi.
"Permohonan disampaikan dengan harapan Majelis Hakim MK menolak permohonan RCTI dan INews secara keseluruhan dan menyatakan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran konstitusional dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat sesuai dengan Konstitusi," kata Rudjito dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Kamis (8/10/2020).
Permohonan ini disampaikan lantaran AJV menilai RCTI dan INews sebagai para pemohon tidak membaca dan mempelajari secara cermat keseluruhan isi dan makna UU Penyiaran. Akibatnya, AJV menilai RCTI dan INews sebagai pemohon gagal memahami isi dan makna UU Penyiaran secara menyeluruh.
"Karena dengan permohonan yang didasarkan atas ketidakpahamannya terhadap isi dan makna UU Penyiaran secara keseluruhan dapat menyesatkan masyarakat awam pada umumnya," katanya.
Salah satunya, AJV meminta pemohon membaca Pasal 1 angka 8 UU Penyiaran tentang pengertian spektrum frekuensi radio, yaitu gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas. Dengan demikian UU Penyiaran hanya dapat diterapkan terhadap penyiaran yang menggunakan spektrum frekuensi radio.
"Dan tidak dapat diterapkan terhadap penyiaran yang menggunakan internet,” katanya.
AJV menilai gugatan RCTI dan INews sejatinya bukanlah murni tentang masalah tafsir pasal 1 angka 2 UU Penyiaran. AJV menduga gugatan itu lebih pada ketakutan RCTI dan INews untuk bersaing atau setidak-tidaknya takut tersaingi oleh penyiaran yang menggunakan internet. Kekhawatiran itu tercermin dalam dalil permohonan RCTI dan INews terutama pada halaman 31 dan halaman 32 angka 32, 33, 34, dan 35. Selain itu, AJV melihat hilang atau berkurangnya minat publik dalam menonton siaran TV konvensional dapat berdampak pada berkurangnya pendapatan yang berasal dari pemasangan iklan bagi perusahaan yang memiliki RCTI dan INews TV.
"Sedangkan mengenai dalil Para Pemohon yang mengklaim seolah-olah lebih Pancasilais, bermoral dan religious, adalah sangat tidak benar. Karena baik dari segi kuantitas maupun kualitas penyiaran yang menggunakan internet justru lebih unggul daripada Para Pemohon. Misalnya saja soal konten religi, dipastikan lebih berkualitas dibandingkan dengan konten sejenis produk dari Para Pemohon. Di sisi lain, memang tidak dapat dipungkiri bahwa konten yang disiarkan oleh Pemohon RCTI didominasi oleh sinetron, yang mana konten semacam itu memang sulit diketemukan pada penyiaran yang menggunakan internet. Apabila kemudian tontonan sinetron tersebut dianggap sebagai standar moral oleh Para Pemohon, Pihak Terkait (AJV) tentu saja tidak dapat menghalanginya,” paparnya.
Diketahui, RCTI dan iNews mengajukan gugatan uji materi Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran ke MK. Gugatan ini diajukan lantaran INews dan RCTI menilai adanya perlakuan berbeda atau unequal treatment terhadap Netflix dan YouTube dengan televisi konvensional dalam UU Penyiaran, khususnya terkait siaran langsung media sosial. Mereka meminta agar setiap penyelenggara penyiaran menggunakan internet, seperti YouTube hingga Netflix, tunduk pada UU Penyiaran.
Sumber: BeritaSatu.com