Jakarta, Beritasatu.com - Vonis seumur hidup yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap empat terdakwa perkara dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya dinilai tak semata karena kehadiran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
Putusan tersebut dijatuhkan lantaran proses pembuktian di persidangan. Demikian disampaikan Guru Besar Hukum Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji kepada SP, Kamis (15/10/2020).
Dikatakan Perma Nomor 1 Tahun 2020 diterbitkan MA untuk mencegah terjadinya disparitas maupun diskriminasi dalam proses pemindanaan terutama menyangkut Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Namun, putusan sebuah perkara berada di tangan Majelis Hakim dalam melihat fakta-fakta yang terungkap di persidangan.
"Perma ini hanya kehendak MA untuk menghindari adanya disparitas pemidanaan maupun diskriminasi penerapan delik dalam penanganan delik tipikor khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, setidaknya ada uniformitas sistem pemidanaan. Jadi putusan berat dari pengadilan tidak semata adanya Perma saja, tetapi hanya soal pembuktian atas fakta yang ditemukan di hadapan sidang," kata Indriyanto.
Tidak banyak koruptor yang divonis bersalah dan dihukum seumur hidup, Meski ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Berdasarkan catatan, sebelum empat terdakwa Jiwasraya, hanya tiga koruptor yang dihukum seumur hidup, yakni mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar atas perkara suap penanganan perkara sengketa sejumlah Pilkada di MK; Direktur Keuangan TNI AD/Kepala Bidang Pelaksana Pembiayaan Kementerian Pertahanan, Teddy Hernayadi atas perkara korupsi anggaran Alutsista 2010-2014, seperti pembelian jet tempur F-16 dan helikopter Apache; serta pemilik PT Gramarindo Group, Andrian Waworuntu atas perkara pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif.
Meski demikian, hukuman seumur hidup terhadap empat Jiwasraya merupakan yang pertama kalinya dijatuhi hakim setelah terbitnya Perma Nomor 1/2020.
Indriyanto mengatakan, hukuman berat terhadap terdakwa korupsi diharapkan bisa menimbulkan efek jera. Namun, sejauh ini, Indriyanto mengaku belum melihat penurunan kasus korupsi karena hukuman yang dijatuhkan.
"Efektivitas pemidanaan berat bisa dijadikan kriteria efek jera kalau memang putusan sejenisnya menciptakan minimalisasi perkara korupsi. Saya belum melihat adanya minimalisasi penanganan kasus korupsi, karenanya pemidanaan berat represif tidak akan selalu menghasilkan efek jera bagi pelaku," katanya.
Sumber: BeritaSatu.com