Jakarta, Beritasatu.com - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) memutuskan tidak menerima eksepsi atau nota keberatan terdakwa Djoko Tjandra atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara surat jalan palsu.
"Mengadili menyatakan keberatan penasihat hukum tidak diterima. Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Timur berwenang mengadili perkara terdakwa Joko Soegiarto Tjandra," kata Hakim saat membacakan putusan sela Joko Tjandra, Selasa (27/10/2020).
Dengan demikian, Hakim memerintahkan agar sidang perkara dugaan surat jalan palsu dengan terdakwa Doko Tjandra dilanjutkan. Agenda sidang selanjutnya yakni pemeriksaan saksi-saksi.
"Memerintahkan penuntut umum melanjutkan pemeriksaan perkara atas nama Djoko Soegiarto Tjandra," kata Hakim.
Diketahui, Jaksa Penuntut Umum mendakwak Joko Soegiarto Tjandra bersama dengan mantan pengacaranya Anita Kolopaking dan mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo.
Brigjen Prasetijo membuat surat jalan palsu. Jaksa membeberkan, pemalsuan surat ini bermula saat Djoko Tjandra berkenalan dengan Anita Kolopaking di kantor Exchange lantai 106, Kuala Lumpur, Malaysia pada November 2019. Djoko Tjandra bermaksud menggunakan jasa Anita Kolopaking untuk menjadi kuasa hukumnya dalam mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan PK Mahkamah Agung dengan Nomor 12PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009.
Putusan PK MA pada 2009 menyatakan Djoko Tjandra bersalah dalam perkara korupsi pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali. Dalam putusannya, Majelis PK MA menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara, dan uang milik Djoko di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara. Saat itu saksi Anita Kolopaking menyetujui permintaan Djoko Tjandra dan dibuat surat kuasa khusus tertanggal 19 November 2019.
Kemudian, pada April 2020, Anita mendaftarkan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun, permohonan itu ditolak PN Jaksel lantaran Djoko Tjandra selaku pihak pemohon tidak dihadirkan. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 tahun 2012 yang mewajibkan kehadiran Djoko Tjandra selaku pihak pemohon dalam mengajukan PK.
Djoko Tjandra yang saat itu berada di luar negeri tidak ingin diketahui keberadaannya karena sejak 2009 telah berstatus buronan. Selain statusnya sebagai buronan, karena pandemi corona atau Covid-19 mewajibkan Joko Tjandra mengantongi surat bebas Covid-19 untuk masuk Indonesia.
Atas hal tersebut, Djoko pun meminta Anita Kolopaking untuk mengatur kedatangannya ke Jakarta dengan mengenalkan sosok Tommy Sumadi yang kemudian mengenalkan Anita kepada Prasetijo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri.
Dalam pertemuan di ruang kerja Prasetijo pada 29 April 2020, Anita kemudian mempresentasikan dan diskusi soal kasus hukum Djoko Tjandra.
Pada 24 Mei 2020, Djoko Tjandra menyampaikan kepada Anita mengenai keinginannya untuk datang ke Jakarta dan mendaftarkan PK.
Anita kemudian membicarakan keinginan Djoko tersebut kepada Prasetijo. Prasetijo pun mengurus keperluan kedatangan Djoko Tjandra dengan membuat surat jalan, surat keterangan kesehatan, dan surat-surat lain terkait dengan pemeriksaan virus Covid-19.
Djoko Tjandra kemudian masuk ke Indonesia lewat Bandara Supadio di Pontianak pada 6 Juli 2020. Dari sana Djoko dan rombongan menuju ke Jakarta melalui Bandara Halim Perdanakusuma menggunakan pesawat sewaan. Setibanya di Jakarta, Djoko ke rumahnya di kawasan Simprug, Jakarta Selatan.
Pada 8 Juli 2020, Djoko bersama Anita mengurus pembuatan e-KTP di Kelurahan Grogol Selatan, Kebayoran Lama. Setelah mengantongi e-KTP, Djoko yang didampingi Anita mendaftarkan PK ke PN Jaksel.
Usai mengajukan PK, Djoko Tjandra kembali terbang dari Bandara Halim ke Bandara Supadio untuk kembali ke Malaysia. Djoko kembali diantar Anita Kolopaking, Brigjen Prasetijo, dan Jhony Adrijanto yang menggunakan surat-surat yang sama. Jaksa menyebut penggunaan surat jalan, surat keterangan pemeriksaan Covid-19, dan surat rekomendasi kesehatan yang tidak benar tersebut telah merugikan Polri secara immateriil karena hal itu mencederai dan/atau mencoreng nama baik Kepolisian Republik Indonesia secara umum dan Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri serta Pusdokkes Polri pada khususnya.
Hal ini mengingat Joko Soegiarto Tjandra merupakan terpidana perkara korupsi dan menjadi buronan Kejaksaan Agung sejak tahun 2009, yang mana seolah-olah Polri khususnya Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri telah memfasilitasi perjalanan seperti layaknya perjalanan dinas yang dilakukan oleh orang bukan anggota Polri.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Djoko Tjandra didakwa melanggar Pasal 263 ayat (1) dan Pasal 263 ayat (2) KUHP, Pasal 426 KUHP, dan Pasal 221 KUHP.
Sumber: BeritaSatu.com