Jakarta, Beritasatu.com – Menteri PAN dan RB Tjahjo Kumolo tidak setuju dengan wacana adanya pencabutan hak politik aparatur sipil negara (ASN). Sebab salah satu ciri negara demokrasi yang matang yakni tegaknya supremasi sipil. Hak pilih betul-betul diwadahi.
“Saya sendiri kurang sepakat kalau hak pilih ASN dicabut karena salah satu ciri negara demokrasi yang matang adalah supremasi sipil di mana hak pilih betul-betul diwadahi. Hanya saja memang karakternya menjadi khas. ASN tidak boleh menjadi partisan karena ada identitas negara yang ia wakili atau yang ia bawa,” kata Tjahjo dalam webinar bertema “Netralitas ASN dalam Pilkada 2020” di Jakarta, Selasa (27/10/2020).
Tjahjo menyatakan netralitas ASN menjadi masalah yang kerap muncul setiap pemilu atau pilkada. Untuk mengatasinya, mau tidak mau harus mengantisipasinya dengan tepat. Hal yang paling penting dilakukan adalah kesadaran bahwa ASN punya hak pilih, sehingga sikap partisannya hanya dapat direfleksikan dalam bilik suara.
“ASN punya kesempatan artikulasi politik untuk memilih orang yang ia kehendaki sebagai pemimpin ketika dalam bilik suara. Dalam hal ini, bilik suara menjadi tempat, di mana segala ekspresi partisan dan ekspresi politik itu dapat disalurkan. Di luar bilik suara tidak perlu diekspresikan karena marwah sebagai alat negara yang harus dijaga,” tegas Tjahjo.
Tjahjo menyebut di lapangan, ada beberapa penyebab terjadinya pelanggaran netralitas ASN. Yang paling dominan adalah adanya motif untuk mendapatkan/mempertahankan jabatan dan proyek (43,4%). Kemudian disusul adanya hubungan kekeluargaan/ kekerabatan dengan calon (15,4%), dan kurangnya pemahaman aturan/regulasi tentang netralitas ASN (12,1%). Faktor lain adalah adanya intervensi/tekanan dari pimpinan/atasan (7,7%), kurangnya integritas ASN untuk bersikap netral (5,5%), ketidaknetralan ASN dianggap sebagai hal lumrah (4,9%), dan pemberian sanksi lemah (2,7%).
Tjahjo enambahkan potensi gangguan netralitas justru datang dari individu ASN itu sendiri. Banyak ASN yang masih gagal paham, salah paradigma, dan memiliki pola pikir tidak tepat. ASN selalu berdalih posisi ASN itu dilematis, maju kena mundur kena, netral pun kena.
“Pemikiran-pemikiran ingin berkarir dengan cara yang mudah, dengan menggunakan perkoncoan, harus berkeringat, harus dekat dengan calon atau bakal calon kepala daerah. Padahal sebetulnya yang dibutuhkan bukan ASN yang berkeringat, yang dekat dengan calon atau bakal calon kepala daerah, melainkan ASN yang berpikir. Potensi tersebut juga datang dari perilaku budaya birokrasi masa lalu,” ujar Tjahjo.
Sumber: BeritaSatu.com