Jakarta, Beritasatu.com - Paham radikalisme yang menjadi awal mula terjadinya aksi terorisme masih menjadi bahaya laten di Indonesia. Sistem hukum di Indonesia hanya dapat menyentuh pelaku-pelaku aksi terorisme. Sementara tokoh yang menyebarkan paham radikalisme belum dapat disentuh oleh sistem hukum.
Guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra mengaku sudah lama mengusulkan kepada pemerintah melalui Kementerian Agama untuk memberikan penataran kebangsaan bagi para penceramah keagamaan. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi materi ceramah yang menyebarkan paham radikalisme.
"Saya sebetulnya sudah meminta sebetulnya sudah mengimbau lama sekali, misalnya, kepada Kementerian Agama supaya penceramah agama itu dikasih penataran kebangsaan," kata Azyumardi dalam webinar '92 Tahun Sumpah Pemuda: Mengatasi Bahaya Laten' yang digelar Beritasatu Media Holdings, Selasa (27/10/2020).
Dicontohkan Azyumardi, dalam penataran tersebut, para penceramah mendapat pemahaman mengenai konsep Negara Indonesia. Selain itu, dapat diberikan pula pemahaman mengenai kelemahan-kelemahan sistem khilafah atau Daulah Islamiyah yang selama ini diidealisasikan oleh kelompok-kelompok radikal. Namun, Azyumardi menyayangkan usulannya tersebut belum direalisasikan hingga saat ini.
"Tapi sampai sekarang itu belum jalan. Saya sudah bilang menterinya berganti, tapi belum jalan," katanya.
Menurutnya, wawasan kebangsaan dapat menjadi benteng mencegah penyebaran paham radikalisme. Namun, Azyumardi mengakui membutuhkan sumber daya yang besar dan waktu yang lama jika harus menggelar penataran kebangsaan kepada seluruh masyarakat. Untuk itu, Azyumardi mendorong agar penataran kebangsaan terutama diprioritaskan kepada kelompok strategis seperti penceramah agama, guru, dan dosen. Apalagi berdasar data BNPT disebut terdapat 23 persen guru atau dosen yang tidak senang dengan Pancasila.
"Mungkin karena mereka tidak pernah mendapat perspektif mengenai Pancasila. Ada yang mencuci otak mereka bahwa Pancasila tidak baik, misalnya. Jadi akarnya itu harus dipecahkan," katanya.
Momentum
Selain itu, Azyumardi mengatakan, persoalan radikalisme muncul karena pemahaman atau interpretasi terhadap ajaran agama. Dalam agama Islam contohnya, Azyumardi menilai, seringkali doktrin mengenai jihad disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan yang pada dasarnya bertentangan dengan doktrin jihad sebenarnya bahkan bertentangan dengan ajaran Islam lainnya, seperti menyebarkan perdamaian dan kedamaian.
"Tapi kemudian tidak ada yang menjelaskan kepada para guru dan para dosen ini. Apalagi, misalnya guru dan dosen ini belajar agama dari guru tertentu saja atau media sosial," katanya.
Untuk itu, Azyumardi berharap, peringatan Sumpah Pemuda tahun ini menjadi momentum untuk memperkuat kesatuan dan integrasi bangsa Indonesia melalui peningkatan pemahaman nasionalisme. Untuk itu, Azyumardi mengusulkan adanya sarasehan dengan seluruh elemen bangsa, terutama generasi muda mengenai wawasan kebangsaan.
"Guru, dosen, pemimpin gerakan mahasiswa diundang sarasehan mengenai keagamaan dan kebangsaan dan kesatuan. Bagaimana memelihara integrasi dan lain sebagainya ini nggak ada ini. Saya tidak menemukan misalnya para pemimpin mahasiswa itu dikasih dikasih bincang-bincang mengenai bagaimana masa depan Indonesia. Apa yang harus kita lakukan Bagaimana memelihara dan memperkuat Pancasila misalnya," katanya.
Sumber: BeritaSatu.com