Kearifan Lokal khas Jawa Tengah untuk Bangkit dari Pandemi

Semarang, Beritasatu.com - Tuti (37) mengusap bekas air hujan yang jatuh di pipinya. Perempuan itu tengah menunggu pesanan bakso di kantin Pasar Bandarjo, Ungaran,Kabupaten Semarang. Bakso urat yang datang tak lama kemudian, menjadi penghangat di siang hari yang diguyur hujan deras. Saat ditemui Beritasatu.com, Kamis (5/11/2020), perempuan berhijab itu baru saja dari sebuah pabrik garmen di Ungaran.
Dia adalah buruh korban PHK dari perusahaan garmen yang berlokasi di Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang. Pandemi Covid-19 membuat perusahaannya limbung, tak berdaya, sehingga terpaksa merumahkan sebagian buruh, dan sebagian besar lainnya di-PHK, termasuk dirinya.
Menurut Tuti, dia menerima PHK pada bulan Juni 2020 saat bulan ramadhan lalu. Alasan perusahaan karena barang yang diproduksi tak bisa diekspor. ‘’Yang bersatus kontrak pasti langsung di-PHK, tapi karyawan tetap dirumahkan, atau masuk giliran,’’ ujar perempuan yang tinggal di Gunungpati Semarang ini.
Tuti mengaku beban hidupnya kian berat karena harus menanggung empat orang anaknya. Apalagi dia merupakan tulang punggung keluarga, setelah suaminya meninggal dunia setahun silam. Anak tertuanya kelas XI SMA, dan yang paling kecil baru berusia 2 tahun.
‘’Karena beban hidup yang sangat berat, begitu kena PHK, anak-anak saya langsung saya titipkan ke rumah orang tua di desa, kasihan kalau harus ikut saya di sini, hidupnya menderita,karena tidak punya pekerjaan,’’ ujar perempuan asal Sragen ini.
Tuti mengaku tak lelah berjuang. Hampir setiap hari, dia berpacu melawan deru dan debu jalanan, mencari lowongan pekerjaan. ‘’Masuk keluar pabrik, sudah dilakoni hampir setiap hari. Ketemu pabrik garmen, pasti saya masuki. Saya sodorkan lamaran pekerjaan. Tapi, hampir semuanya menutup pintu, tidak ada lowongan, kata petugas satpam,’’ ujarnya lirih.
Minggu lalu, Tuti mengaku, dia mencoba peruntungannya di sebuah pabrik garmen. Tapi jawabannya, lagi-lagi ditolak.
‘’Bilangnya tak ada lowongan untuk bagian packing. Adanya untuk bagian jahit, itu pun yang diterima karena punya kenalan orang dalam,’’ ungkapnya dengan mata menerawang.
Tuti mengaku, untuk pulang ke kampung tanpa pekerjaan, dia tak sampai hati. Bukan hanya malu, tetapi juga akan menjadi beban bagi orang tuanya. Apalagi orang tuanya pun bukan orang berpunya. Dia bersyukur anak-anaknya diasuh dan dinafkahi orang tuanya, walau dengan kondisi sangat sederhana.
‘’Tapi, hidup di sini pun sama susahnya. Saya terpaksa minta uang dari orang tua, untuk biaya hidup selama tinggal di Semarang. Semula rikuh, tapi mau gimana lagi, tanpa uang kiriman bagaimana bisa saya menanggung hidup di sini,’’ tutur perempuan bertubuh kecil ini.
Nining Sulistiyawati (35), juga menjadi korban PHK karena perusahaan garmen tempatnya bekerja terpuruk akibat gagal ekspor. Ratusan buruh termasuk dirinya terkena PHK. ‘’Tak ada pemberitahuan sama sekali, tahu-tahu langsung kena PHK,’’ ujar Nining, warga Paren, Sidomulyo, Ungaran Timur, yang terkena PHK pada bulan April lalu.
Sempat menganggur di rumah, perempuan beranak tiga itu pusing memikirkan tingginya biaya hidup sehari-hari, apalagi sang suami masih bekerja serabutan setelah hotel tempatnya bekerja gulung tikar dua tahun silam. ‘’Praktis, saya yang ketiban sampur membiayai semua keperluan rumah tangga. Tapi begitu saya kena PHK, langit seperti mau runtuh, di kamar saya menangis sejadi-jadinya,’’ ujarnya.
Untungnya, biaya hidup sehari-hari masih bisa ditopang sang ayah yang masih bekerja sebagai tukang bangunan, dan dari penghasilan suami yang bekerja serabutan. ‘’Saya harus memutar otak, pintar-pintar menggunakan uang yang tidak seberapa itu untuk biaya hidup sehari-hari. Untungnya, anak sulung saya sudah bekerja di Semarang, jadi sedikit mengurangi beban,’’ tuturnya.
Nining mengaku beruntung, berkat kenalannya, dua bulan terakhir dia sudah kembali bekerja di sebuah perusahaan garmen di bagian obras, sesuai keahliannya. ‘’Puji Tuhan, akhirnya bisa kembali bekerja, punya penghasilan lagi. Saya berharap, di sini lancar, tidak sampai kena PHK lagi,’’ tuturnya.
Kisah pilu yang dialami Tuti dan Nining, adalah duka yang dialami ribuan buruh di Tanah Air, termasuk di Jawa Tengah, yang terpaksa kehilangan pekerjaan akibat ganasnya pandemi Covid-19. Ada yang dirumahkan dengan gaji yang dipotong sekian persen, atau bahkan tidak menerima gaji sama sekali. Banyak pula yang terkena PHK dengan pesangon yang tak sesuai perjanjian kerja. Banyak dari mereka yang hingga kini masih menganggur, karena sulitnya mencari kerja, namun tak sedikit pula yang berhasil bangkit dengan berinovasi.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah mencatat, sebanyak 50.563 buruh di Jawa Tengah telah dirumahkan dan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi Covid-19. Dari puluhan ribu buruh Jateng yang terkena PHK itu, paling banyak berada di Kota Semarang mencapai 2.385 orang. Disusul buruh di Boyolali mencapai 1.950 orang dan Sragen dengan 1.451 buruh. Sementara buruh yang dirumahkan paling banyak ada di Kabupaten Magelang mencapai 4.861 orang. Disusul Banyumas dengan 4.509 orang dan Boyolali mencapai 3.612 orang.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengaku prihatin dan sedih dengan kondisi yang menimpa para buruh. Dia meminta perusahaan tidak melakukan PHK terhadap para pekerjanya. Diakuinya, kondisi ekonomi saat pandemi Covid-19 ini memang sangat tidak terlalu bagus. Namun dia berharap ada kebijakan dari para pengusaha untuk tidak melakukan PHK.
“Saya berharap tidak ada PHK. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan, misalnya jam kerja dikurangi. Kalau sudah tingkat parah mungkin ya dirumahkan. Tapi jangan sampai di PHK karena situasinya memang tidak terlalu bagus saat ini,” ujar Ganjar.
Dia meminta para buruh yang terkena PHK untuk tenang dan segera mendaftar program Kartu Prakerja. Jateng mendapat kuota Kartu Prakerja sebesar 421.705 orang. Dengan memiliki Kartu Prakerja, buruh yang mengalami PHK akan mendapat sejumlah fasilitas pelatihan selama empat bulan. Selama itu, pemegang kartu akan mendapat fasilitas senilai Rp 3.550.000.
Rinciannya, Rp 1 juta untuk anggaran pelatihan, Rp2,4 juta untuk uang saku dan Rp150.000 untuk uang survei.
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sendiri memberikan bantuan sembako kepada buruh korban PHK. Paket sembako yang diberikan nilainya Rp200.000. Perinciannya, beras 10 kg, gulai pasir 1 kg, minyak goreng 2 liter, ikan ½ kg, dan mi instan 8 bungkus.
Namun di tengah kesulitan ini, tak sedikit pekerja yang berusaha bangkit dan melanjutkan hidup. Daryatni (40), misalnya. Warga Boyolali ini yang di-PHK pada April lalu itu, mengaku untuk memenuhi kebutuhan keluarga memanfaatkan mesin jahit di rumahnya untuk memroduksi masker kain. Daryatni memroduksi dua jenis masker, yakni masker satu lapis dan dua lapis. Setiap lembar masker kain yang dibuatnya dijual seharga Rp3.000-4.000.
"Kebetulan ada mesin jahit di rumah. Sehari biasanya bisa bikin 3-4 lusin masker. Lumayan penghasilannya untuk kebutuhan," kata Daryatni.
Kisah serupa dituturkan Riyadi (22). Sejak dirumahkan tanpa bayaran dan tanpa kepastian apakah bisa bekerja lagi nantinya, dia memilih membantu orang tuanya bercocok tanam.
"Sehari-hari bantu bapak di ladang, macul untuk tanam cabai dan tanam sayuran lainnya. Hasilnya lumayan untuk kebutuhan," ujar Riyadi.
Sutopo, ahli mekanik korban PHK lainnya mengaku, demi memenuhi kebutuhan keluarga, kini bekerja membantu mertua menjadi pemborong bangunan.
"Bantu mertua bangun rumah, gedung dan lainnya. Ya jadi kuli bangunan, tapi saya bagian instalasi listrik. Hasilnya lumayan, bisa untuk makan keluarga," ujar pria beranak dua ini.
Kisah Daryatni, Riyadi dan Sutopo ini membuat Ganjar bangga. Menurut Ganjar, meski ada bantuan dari pemerintah, namun alangkah baiknya jika mereka yang terdampak Covid-19 pun berusaha untuk bertahan hidup.
"Semua sedang susah, tapi kalau hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah, tidak akan pernah cukup. Kita harus berusaha agar tetap survive, saya senang kawan-kawan buruh di Boyolali ini tetap semangat," kata Ganjar.
Menurut Ganjar, sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan para buruh untuk tetap survive. Namun, hal itu membutuhkan dukungan dari banyak pihak, khususnya perusahaan dan pemerintah.
"Makanya saya mengajak semua perusahaan untuk memberikan perhatian, nanti kami ikut bantu. Sebab, kalau urusan makan sudah aman, mereka para buruh ini bisa kok berinovasi. Ada yang bikin masker, jualan, jadi tukang batu atau mungkin ekonomi kreatif akan muncul. Apapun itu, yang penting mereka bisa survive," tandasnya.
Kearifan Lokal di Jawa Tengah
Untuk mengatasi beragam persoalan di masyarakat sebagai dampak pandemi Covid-19, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menggagas Program Jogo Tonggo. Istilah Jogo Tonggo diambil dari bahasa Jawa. Jogo artinya menjaga, sedangkan Tonggo artinya tetangga. Sehingga artinya, menjaga tetangga. Jogo Tonggo merupakan kearifan lokal khas Jawa Tengah yang dulu banyak dipraktikkan oleh masyarakat pedesaan.
"Pada pelaksanaannya, Jogo Tonggo mencakup dua hal, yaitu jaring pengaman sosial dan keamanan, serta jaring ekonomi," ujar Ganjar, saat meluncurkan program tersebut, 25 April 2020 lalu.
Jogo Tonggo hadir dengan filosofi pemanfaatan lembaga di lapisan terbawah, yakni rukun warga (RW) di masyarakat. Lembaga ini yang mengetahui berbagai permasalahan di lapisan terbawah, termasuk mengetahui siapa saja warga terdampak Covid-19, termasuk mereka yang kehilangan pekerjaan karena di-PHK atau dirumahkan.
Tugas anggota Satgas Jogo Tonggo adalah memastikan bantuan dan dukungan dari luar wilayah yang masuk ke daerahnya, tepat sasaran dan tepat guna. Anggota pelaksana program tersebut, yakni, Karang Taruna, Dasa Wisma, Posyandu, Linmas, warga di tingkat RW dan organisasi lain.
Ganjar Pranowo menjelaskan, bantuan dari negara selama pandemi berlangsung dipastikan tidak akan pernah cukup untuk membantu kebutuhan seluruh masyarakat. Untuk itu, Ganjar mengaku tidak hanya mengandalkan anggaran dari pemerintah, namun menggerakkan kearifan lokal dengan membuat Program Jogo Tonggo.
"Kami buat Program Jogo Tonggo, artinya menjaga tetangga. Program ini mengurusi masalah kesehatan, sosial, keamanan dan hiburan. Ada juga lumbung pangan dengan pemanfaatan lahan agar kebutuhan makan tercukupi. Gerakan ini sebenarnya sudah ada sejak dulu, gotong royong di tengah masyarakat. Ini saya hidupkan kembali, dan ternyata berjalan dengan baik," ungkap Ganjar.
Untuk program tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mendistribusikan ribuan paket Jogo Tonggo Kit ke seluruh desa dan kelurahan di Jateng. Program berbasis pemberdayaan masyarakat itu didistribusikan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/kota, dan telah dibagikan ke desa dan kelurahan.
Paket tersebut berupa APD (alat pelindung diri) sipil sebanyak 10 set, sepatu boot 10 pasang, sarung tangan 10 pasang, satu unit sprayer otomatis, masker kain 1000 helai, hand sanitizer 50 liter, disinfektan 30 liter, thermogun, modul (buku petunjuk) dan sebuah tas.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Yulianto Prabowo mengatakan, total ada 8.562 paket Jogo Tonggo Kit yang didistribusikan untuk seluruh desa dan kelurahan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Untuk setiap paket Jogo Tonggo nilainya sekitar Rp8 juta, yang bersumber dari Biaya Tak Terduga (BTT) Provinsi Jawa Tengah. Tujuannya sebagai stimulan bagi desa dan kelurahan untuk mencegah dan mengurangi penularan Covid-19 di tingkat pedesaan.
Menurut Yulianto, Jogo Tonggo Kit tersebut bersifat stimulan. Pemprov Jateng berharap ada partisipasi pemerintah desa dan kelurahan, dalam pengadaannya. Pihaknya mempersilakan pihak desa dan kelurahan untuk melibatkan kalangan dunia usaha atau donatur dalam pengadaan Jogo Tonggo Kit. Menurutnya, Jogo Tonggo Kit hanya salah satu aspek untuk mendukung Satgas Jogo Tonggo. Masih ada aspek-aspek lain seperti aspek sosial budaya, hiburan dan lainnya yang perlu dikoordinasikan oleh pemerintah desa atau kelurahan.
‘’Ada pula tugas yang diberikan kepada Satgas Jogo Tonggo, yakni memberikan penyuluhan edukasi kepada warga masyarakat tentang cara hidup sehat dan upaya memutus mata rantai penularan Covid-19, dengan mengonsumsi makanan bergizi dan berolahraga. Mereka juga bertugas mengelompokkan warga berisiko tinggi tertular, misalkan warga lanjut usia (lansia) yang memiliki riwayat penyakit tertentu,’’ papar Yulianto.
Ganjar Pranowo mengaku bangga dan terkesan karena masyarakat Jateng menerapkan program Jogo Tonggo yang digagasnya. "Saya bangga dan senang, karena masyarakat sudah menerapkan program ini untuk menjaga sesama warga, baik di bidang seni hiburan, kesehatan, ekonomi, dan sosial keamanan," ungkap Ganjar.
Dia juga senang karena program lumbung pangan juga sudah dilaksanakan sebagai pendukung program Jogo Tonggo. Masyarakat yang mampu saling membantu, bantuan dari semua pihak ditampung jadi satu untuk kemudian disalurkan pada warga yang membutuhkan.
Ketua RW 5 Kelurahan Jomblang, Kecamatan Candisari, Kota Semarang, Driyanto mengatakan, warganya bergotong royong menjalankan program tersebut. Mereka memanfaatkan Balai RW sebagai lumbung pangan sekaligus tempat untuk mendata masyarakat dari sisi ekonomi, kesenian, hiburan, sosial, kesehatan dan lainnya.
"Program Jogo Tonggo ini kami laksanakan sesuai perintah Pak Gubernur dalam menghadapi covid-19. Kami mencoba memenuhi semua kriteria yang ada, mulai ekonomi, sosial, keamanan, kesehatan dan hiburan," katanya.
Program ekonomi digunakan untuk membantu masyarakat yang kesulitan ekonomi. Sementara program hiburan, salah satu kegiatannya adalah mengoptimalisasikan kreativitas warga dalam berkesenian serta memberikan hiburan kepada anak-anak sekolah.
"Di bidang sosial keamanan kami selalu berjaga dan mengingatkan kalau ada warga berkerumun. Orang luar yang masuk juga didata satu persatu. Di bidang kesehatan, kami melakukan pendataan warga yang rentan seperti lansia dan sebagainya," ujarnya.
"Saya titip tolong perhatikan lansia, juga ibu hamil dan menyusui. Lansia perlu diperhatikan karena mereka sangat rentan. Sementara ibu hamil dan menyusui penting kita perhatikan karena mereka sedang merawat calon generasi penerus, jangan sampai anak-anak mereka stunting karena kurang gizi akibat pandemi," pesan Ganjar.
Di Kota Tegal, warga RT 6 RW 3 di Perumahan SUPM Kelurahan Tegalsari Kecamatan Tegal Barat menerapkan Program Jogo Tonggo dengan membuat apotek dan warung hidup di lahan kosong perumahan mereka. Lahan itu ditanami aneka sayuran, empon-empon dan bumbu masak lainnya. Selain itu, ada pula ember-ember berjajar berisi ikan lele dengan bagian atas ditanami kangkung dan sawi.
"Jadi kami gunakan tempat ini sebagai tempat menanam kebutuhan sehari-hari. Kalau ada masyarakat yang membutuhkan, diambilkan dari sini," kata Ketua RW, Edi Warsito.
Selain apotek dan warung hidup, di lokasi itu juga dibuat lumbung pangan. Lumbung tersebut digunakan untuk menampung bantuan dari luar perumahan atau bantuan dari jimpitan masyarakat. Karena masyarakatnya mayoritas mampu secara ekonomi, bantuan tersebut juga diserahkan kepada pihak luar, misalnya para guru ngaji dan masyarakat yang terdampak di luar RW.
"Lumbung pangan kami gunakan untuk menampung bantuan baik dari luar atau dari internal warga. Alhamdulillah jimpitan warga mampu masih berjalan dan kami gunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan," tambah pengurus lumbung pangan, Witoyo.
Di Kabupaten Kudus, Jogo Tonggo digelar unik dan inspiratif, tepatnya di Jalan Ekaprayan RT 1 RW 1 Desa Rendeng, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus.
Hal unik itu berupa cantolan sedekah sembako, yakni cantolan yang terpasang di dinding pojok jalan. Di cantolan itu terdapat beraneka bungkusan plastik berisikan sembako, mi instan, tempe, sayuran mentah, dan lainnya. Terdapat tulisan di atasnya
“Ambil secukupnya tonggomu keluargamu, guyub rukun migunani” (ambil secukupnya, tetanggamu keluargamu, itulah gunanya kerukunan).
Bungkusan itu dicantolkan oleh warga dan boleh diambil siapapun yang membutuhkan, dengan jumlah sewajarnya, serta gratis. Warga setempat, Liana Dewi (20) mengaku, dirinya bersama penduduk desa lainnya sangat terbantu dengan adanya bungkusan cantolan sembako.
“Membantu sekali bagi warga yang terdampak Covid-19. Ini ada tahu, telur, sayuran, ya kebutuhan sembako. Ini bentuk kita saling membantu warga dengan warga yang lain,” kata Liana.
Kepala Desa Rendeng Muhamad Yusuf menjelaskan, cantolan sembako di dinding posko Jogo Tonggo di RW 1 ini adalah inovasi warga dan relawan. Hal itu sebagai bentuk kesadaran masyarakatnya dalam berpartisipasi di masa pandemi.
“Dari warga sendiri, menyediakan apapun yang dibutuhkan masyarakat. Yang butuh bisa mengambil,” kata Yusuf.
Menurutnya, bahan sembako dan lainnya yang dicantolkan itu hampir setiap hari berganti. Bisa jadi berisikan tahu, tempe, sayur, gula atau lainnya. “Kalau mereka ada kelebihan, pasti. Dari warga, untuk warga,” ujarnya.
Keberadaan cantolan sembako itu memang menumbuhkan semangat warganya untuk berbagi. Tidak heran jika setiap hari pasti ada bungkusan yang dicantolkan. Tidak ada jumlah batasan menaruh bungkusan di cantolan tersebut.
Dia menuturkan segala aktivitas di depan cantolan terekam CCTV. Sehingga akan tampak siapapun yang menaruh dan mengambil bungkusan sembako di cantolan tersebut. Yusuf menceritakan, ada juga aksi seseorang yang mengambil seluruh bungkusan di cantolan sembako itu. Menurutnya, itu dilakukan oleh warga desa lain. “Berhenti, diambilkan semua, dimasukkan di jok sepeda motor,” cerita Yusuf.
Yusuf menuturkan, pihaknya membentuk kampung siaga setelah adanya imbauan pemerintah terkait kewaspadaan terhadap Covid-19. Tak tanggung-tanggung di seluruh RW berjumlah tujuh, didirikan posko siaga. Di posko itu, pihaknya gencar memberikan sosialisasi pencegahan Covid-19.
Di Desa Kendengsidialit, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara, juga telah memanfaatkan Jogo Tonggo Kit. Kepala Desa Kendengsidialit, Kahono Wibowo menyampaikan bahwa bantuan Jogo Tonggo Kit langsung dimanfaatkan untuk penanganan Covid-19 di desanya.
"Kami sudah membentuk tim relawan penanganan Covid-19. Setelah mendapat bantuan Jogo Tonggo Kit, kami langsung bisa menerapkannya," ujarnya.
Program Jogo Tonggo pun menuai apresiasi. Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPan-RB) menilai Program Jogo Tonggo sebagai program inovatif pelayanan publik, dalam penanganan Covid-19. Penghargaan tersebut diumumkan oleh Deputi Bidang Pelayanan Publik Diah Natalisa, melalui kanal YouTube Kemenpan-RB. Dari 1.204 inovasi penanganan Covid-19, Jawa Tengah masuk dalam deretan 21 teratas (Top 21).
Diah mengatakan, dari deretan Top 21, dibagi dalam tujuh klaster yang terdiri dari kementrian atau lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, pemerintah kota, perguruan tinggi, perusahaan swasta dan masyarakat sipil. Jogo Tonggo Pemprov Jateng berada pada tiga besar dari klaster Pemerintah Provinsi, selain Pemprov Jabar dengan Pusat Informasi dan Koordinasi Covid -19 (Pikobar), dan Pemprov Kepulauan Bangka Belitung, dengan inovasi Fightcovid19.
Sumber: BeritaSatu.com
BERITA TERKAIT
BERITA TERKINI
Kasus Brigadir Setyo Herlambang, Polisi Diminta Tak Berikan Pernyataan Tanpa Fakta
Kaesang Gabung PSI, Gibran Ungkap Ada yang Coba Adu Domba dengan Alam Ganjar
Cak Imin Jadi Cawapres Anies, Massa 212 Diprediksi Dukung Prabowo
3 Santri Ponpes Imam Asy-Syafii Tewas Tenggelam di Pantai Lowita Pinrang
Tewaskan 4 Orang, Begini Kronologis Lengkap Kecelakaan Maut di Exit Tol Bawen
1
Polri Terbitkan 4 SKCK Bakal Capres dan Cawapres
B-FILES


Perlukah Presiden/Kepala Negara Dihormati?
Guntur Soekarno
Urgensi Mitigasi Risiko Penyelenggara Pemilu 2024
Zaenal Abidin
Identitas Indonesia
Yanto Bashri