Jakarta, Beritasatu.com - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri menegaskan, upaya pemberantasan korupsi tidak terpengaruh dengan agenda apapun, termasuk Pilkada serentak 2020. Dikatakan, KPK akan terus mengusut setiap laporan dugaan tindak pidana korupsi, meski tahapan Pilkada saat ini telah memasuki masa kampanye.
Hal ini disampaikan Firli dalam Pembekalan Calon Kepala Daerah (Cakada) Provinsi Kepulauan Riau, Lampung, Kalimantan Timur (Kaltim), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), di Ruang Rapat Hotel Radisson Golf and Convention Center Kota Batam, Selasa (10/11/2020). Peserta di Lampung, Kaltim, dan NTT, mengikuti pembekalan secara daring.
“Hukum dan politik adalah dua rel yang berbeda. Politik Pilkada sedang berlangsung, tapi bukan berarti proses penegakan hukum tak berjalan. Jangan anggap hukum berhenti di saat pilkada. Penegakan hukum tidak akan terganggu oleh pelaksanaan pilkada,” tegas Firli.
BACA JUGA
Dikatakan, hingga Oktober 2020, terdapat 143 kepala daerah yang terdiri dari 21 gubernur dan 122 bupati/ wali kota yang telah dijerat KPK. Jumlah tersebut akan terus bertambah. Firli juga memastikan, KPK tidak akan berhenti mengusut dugaan tindak pidana korupsi kepala daerah, walaupun Pilkada sedang berproses. Bahkan, Firli mengungkapkan lembaga antikorupsi bakal menahan dua kepala daerah yang terdiri seorang bupati dan seorang wali kota pada pekan depan.
"Bapak lihat aja nanti, minggu depan ada dua orang lagi, bupati dan wali kota," katanya.
Dikatakan, pelaksanaan pilkada dapat menjadi pintu masuk bagi timbulnya tindak pidana korupsi oleh kepala daerah. Firli berharap jangan sampai ketika cakada sudah terpilih sebagai pemimpin daerah, beberapa waktu kemudian justru menjadi tersangka kasus korupsi. Untuk itu, sejak awal pemilihan, pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah harus mengetahui menghindari potensi munculnya benturan kepentingan. Salah satunya, sebut Firli, benturan kepentingan dalam pendanaan pilkada.
“Survei KPK di tahun 2018 memperlihatkan adanya 82,3 % dari calon kepala daerah yang diwawancarai mengakui adanya donatur dalam pendanaan pilkada,” katanya.
Hadirnya donatur disebabkan kebutuhan biaya pilkada lebih besar ketimbang kemampuan harta calon kepala daerah.
Berdasarkan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp 18,03 miliar, bahkan terdapat pasangan calon yang hartanya minus. Padahal, berdasarkan wawancara mendalam dari survei KPK itu, disebutkan bahwa untuk bisa mengikuti tahapan pilkada, pasangan calon di tingkat kabupaten/kota harus memegang uang antara miliar hingga Rp 10 miliar, yang bila ingin menang idealnya musti menggenggam dana sekitar Rp 65 miliar.
Untuk mencukupi pembiayaan pilkada, para calon kepala daerah menerima sumbangan donatur. Namun, kata Firli sumbangan donatur berkonsekuensi pada pretensi para sponsor tersebut untuk mendapatkan kemudahan perizinan menjalankan bisnis, keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnisnya.
“Hasil telaah KPK di 2018 itu juga menemukan bahwa sebagian besar cakada, atau 83,80 % dari 198 responden, mengutarakan mereka akan memenuhi ambisi para donatur tersebut ketika dia menjabat,” kata Firli.
Sumber: BeritaSatu.com