Jakarta, Beritasatu.com - Pandemi Covid-19 yang telah memporak-porandakan hampir seluruh lini kehidupan manusia sekiranya menjadi pelajaran berharga terutama untuk sistem kesehatan nasional di Indonesia. Bertepatan dengan peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke 56 tahun ini, para pakar menilai pandemi Covid-19 harus jadi momentum untuk mereformasi sistem kesehatan nasional.
Pengamat kebijakan kesehatan publik, Prof Hasbullah Thabranny mengatakan, ada dua hal yang perlu dipelajari dari pandemi Covid-19. Pertama, sistem kesehatan nasional belum siap menghadapi epidemi. Ini terlihat dari ketidaksiapan fasilitas kesehatan menampung pasien yang tiba-tiba meledak. Fasilitas rumah sakit, seperti ventilator, ruang isolasi, ICU atau ruangan bertekanan negatif mendadak baru dipersiapkan ketika kasus Covid-19 mulai meningkat.
Kedua, masyarakat sangat tidak memahami bagaimana berhadapan dengan penyakit infeksi. Selain karena sebagian besar masyarakat berpendidikan rendah sehingga pemahamannya lemah, informasi yang jelas dan solid dari pemerintah pun tidak muncul sejak awal Covid-19 masuk ke Indonesia. Ini kemudian menimbulkan kontroversi, misalnya banyak masyarakat tidak mempercayai Covid-19 itu ada, dan tidak disiplin terhadap protokol kesehatan.
“Banyak hal yang kita saksikan, terjadi konflik-konflik ketidaksinkronan antara kebijakan pemerintah dengan penerimaan masyarakat. Itu terjadi karena komunikasi tentang Covid-19, penyebab dan konsekuensinya tidak cukup mudah diterima masyarakat. Akibatnya yang terjadi banyak kontroversial,” kata Hasbullah kepada Suara Pembaruan, Jumat (13/11/2020).
Hal ini, menurut Hasbullah, bisa dibuktikan dengan jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia yang belum pernah turun dan cenderung meningkat. Masih banyaknya orang dibiarkan berkerumum, seperti demo, pilkada, libur, dan masa yang menjemput Rizieq Shihab adalah fakta bahwa tidak terjadi pemahaman yang utuh tentang Covid-19 yang sangat menular.
Menurut Hasbullah, pidato Presiden Jokowi yang meminta bawahannya untuk reformasi fundamental di sektor kesehatan pada pidato kenegaraan Jumat (14/8/2020) memang sangat diperlukan. Artinya pihal luar kesehatan nasional lemah, sehingga perlu direformasi dengan kejadian Covid-19. Terutama perilaku masyarakat perlu direformasi, misalnya dengan gerakan masyarakat hidup bersih dan sehat atau Germas. Germas tidak cukup hanya dikampanyekan, tetapi perlu dukungan dengan pendanaan yang memadai. Karena perubahan perilaku masyarakat tidak tumbuh dengan sendiri, melainkan perlu ditumbuhkan melalui berbagai upaya dan model edukasi yang bisa mudah diterima masyarakat.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Ede Surya Dharmawan mengatakan, yang perlu direformasi dari sistem kesehatan nasional adalah memperbanyak upaya kesehatan masyarakat (UKM) atau pencegahan penyakit dibanding upaya kesehatan perorangan (UKP) atau kuratif (pengobatan). Persoalan di Indonesia, UKM ini masih kurang sehingga banyak orang mudah sakit.
“Aspek pencegahan kita masih kurang sekali. Buktinya masih banyak yang gampang sakit. Covid-19 ini menunjukkan betapa lemahnya sistem pelayanan kesehatan kita terutama yang ada di lapangan,” kata Ede.
Menurut Ede, prinsip pelayanan kesehatan adalah mencegah sakit dan jangan sampai jatuh dalam kondisi fatal. Negara harus hadir agar orang tidak mudah jatuh sakit dengan memperbanyak UKM. Tanggung jawab utama UKM ini adalah fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas. Masalahnya, menurut Riset Tenaga Kesehatan Nasional, dari sekitar 10.000 puskesmas di Indonesia, 45% diisi tenaga bidan dan perawat, dokter hanya 5,1%, tenaga kesehatan masyarakat juga 5,1%.
“Jadi kondisinya memang tidak ideal dari SDM-nya. Puskemas sampai sekarang masih kekurangan dokter, apalagi tenaga kesehatan masyarakat yang tugas utamanya mempromosikan dan melindungi orang tidak gampang sakit,” kata Ede.
Kemudian, puskesmas mestinya fokus pada UKM, tetapi yang terjadi justru lebih banyak pada pengobatan atau UKP. Ini terjadi karena sejak adanya program JKN-KIS, puskesmas sebagai provider BPJS Kesehatan cenderung lebih banyak pada mengobati pasien. Puskesmas seolah menunggu orang sakit untuk diobati. Seharusnya mengunjungi masyarakat untuk memastikan perilaku mereka sehat, kondisi rumah, asupan makanan, lingkungan dan sanitasi sehat.
Inilah yang menurut Ede perlu direformasi. Puskesmas harus dikembalikan ke peran awalnya untuk memperkuat UKM untuk mencegah orang jatuh sakit, bukan mengobati orang sakit.
Sumber: BeritaSatu.com