Jakarta, Beritasatu.com - Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional (DPKN) Zudan Arif Fakrulloh mengemukakan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) selalu menjadi isu yang mencuat setiap kali ada pilkada. Untuk mengatasinya, perlu merumuskan satu solusi agar tidak terulang dan tidak menimbulkan kegaduhan setiap pilkada.
"Meskipun persentasinya sedikit sekali, yakni dari 4,2 juta ASN yang tidak netral itu tidak banyak. Jumlahnya di bawah 1.000, tapi sangat noise. Menimbulkan image seolah-olah ASN itu banyak yang tidak netral," kata Zudan di Jakarta, Kamis (19/11/2020).
Ia menegaskan ASN yang netral jauh lebih banyak. ASN yang profesional juga jauh lebih banyak jumlahnya dibanding yang tidak netral. Namun meskipun sedikit jumlahnya tetap harus ditangani.
Zudan yang juga Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri ini mengajak semua pihak memikirkan sistem merit baru agar ASN tidak menjadi korban dari ritual politik lima tahunan. Pasalnya, setiap lima tahun pascapilkada terjadi tsunami birokrasi. Banyak ASN yang dicopot dan nonjob.
Pakar Hukum Administrasi ini mencermati, ada dua faktor penyebab ASN menjadi tidak netral, yakni faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor eksternal terjadi lantaran sistem politik yang ada menyebabkan ASN bisa tidak netral atau dipaksa oleh sistem untuk tidak netral. Misalnya, ketika incumbent maju Pilkada lagi.
"Kalau incumbent gubernur/bupati dan wakilnya maju satu paket tidak ada pergolakan bagi ASN. Apalagi kalau menang. ASN-nya nyaman. Tetapi jika wakilnya maju, gubernur/bupati incumbent maju, birokrasi bisa terbelah," ungkap Zudan.
Sebab, masing-masing calon pejabat yang berharap menang kerap memberikan "gratifikasi politik dan jabatan".
"Nanti kalo saya menang, you dukung saya, you jadi kepala dinas pendidikan. You jadi Kadinas PU, Kadinas Kesehatan. Yang tidak bergerak, tidak berkeringat biar saja di luar pagar. Begitulah bentuk gratifikasi politik," ujar Zudan.
Dirinya menyayangkan sistem politik yang membolehkan pejabat yang tidak maju mencalonkan diri dalam pilkada namun tetap berkampanye. Ini banyak terjadi. Misalnya, ASN yang kepala daerahnya sudah dua periode menjabat ikut kampanye untuk calon separtainya.
"Misalnya, ASN diperintahkan mengerjakan materi yang dikampanyekan. Kalau tidak dikerjakan dimarahi kepala daerah. Kalau dikerjakan, ya kalau calon yang didukung sang kepala daerah itu menang... kalau kalah, ASN tersebut bisa dinonjobkan calon kepala daerah yang menang. Ini yang menyebabkan ASN tidak nyaman. Ini perlu kita kaji," Zudan menegaskan.
Ketum Korpri ini menyampaikan regulasi yang mengatur tentang kebolehan kepala daerah/wakil kepala daerah yang sedang berkuasa cuti untuk ikut kampanye mendukung calon tertentu, itu perlu dikritisi. Sebab merugikan ASN dan menjadikan ASN terbelah.
Faktor eksternal yang juga disoroti Zudan adalah sistem merit yang masih sangat tergantung pada kepala daerah.
"Saya menyebutnya merit system yang sangat tergantung politik lokal. Sebab pejabat kita diangkat oleh PPK. Eselon II, eselon III, sekda provinsi diangkat oleh PPK. Eselon I yang diangkat oleh presiden. Jadi betapa tergantung sistem meritnya dengan para kepala daerah," kata Zudan.
Itu sebabnya, Zudan mengusulkan agar sistem karier ASN didesain ulang. Caranya, pejabat eselon II selayaknya menjadi pejabat nasional. Sehingga dia bisa dimutasi antarprovinsi dan yang menempatkan itu Menteri PANRB, Mendagri, atau Presiden.
"Jadi dia bisa ditempatkan di mana pun tidak tergantung satu kepala daerah saja. Diputar dalam satu provinsi atau berputar antarprovinsi," jelas Zudan.
Sementara faktor internalnya pun banyak. "Dan yang harus kita jaga adalah walaupun berkawan harus tetap profesional. Ini memang tidak mudah," kata Zudan.
Misalnya, calon kepala daerah sangat akrab dengan sekda. Anak buah sekda tidak enak kalau tidak mendukung. "Ini mendukung karena kedekatan, karena utang budi. Ini faktor internal yang harus bisa kita antisipasi agar tidak terjebak dalam sikap tidak netral," tutup Zudan.
Sumber: BeritaSatu.com