Jakarta, Beritasatu.com - National Central Bureau (NCB)-Interpol Indonesia sempat mengendus keberadaan Djoko Tjandra saat menjadi terpidana dan buronan perkara korupsi pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali. Berdasarkan pemantauan Interpol Indonesia, Tjandra sempat berada di Taiwan pada 2014 dan Korea Selatan pada 2015. Hal itu diungkapkan mantan Sekretaris NCB-Interpol Indonesia, Komjen Pol (Purn) Setyo Wasisto saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang perkara dugaan suap pengurusan penghapusan nama Djoko Tjandra dalam daftar red notice Polri dengan terdakwa mantan Kabiro Kordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo di Pengadilan Tipikor Jakarta. Setyo diketahui pernah menjabat sebagai Sekretaris NCB Interpol Indonesia pada periode 2013-2015.
Dalam persidangan, Setyo yang juga mantan Kadiv Humas Polri mengungkapkan keberadaan Tjandra sempat terendus di Taiwan pada 2014 dan Korea Selatan pada 2015 atau jauh sebelum ditangkap Bareskrim pada pertengahan Juli 2020 lalu. Atas informasi tersebut, Setyo mengatakan, Interpol Indonesia pernah berkirim surat kepada Interpol Taiwan untuk menangkap Tjandra. "Kami minta kerja sama NCB Interpol Taiwan memberikan atensi dan apabila masuk ke agar bisa ditangkap dan ditahan," kata Setyo dalam persidangan, Selasa (24/11/2020).
Selain Taiwan, keberadaan Joko Tjandra juga sempat terendus di Korea Selatan. Setyo juga bersurat dengan pihak Interpol Korsel untuk menangkap Joko Tjandra bila masuk wilayah Korea. "Kami dapat informasi saya lupa putra atau putri Tjandra menikah di Korea sehingga, kami berharap ada kerja sama Interpol Korea menangkap yang bersangkutan apabila masuk Korea," ujarnya.
Setyo tidak begitu ingat kapan kejadian tersebut. Hanya saja kejadian tersebut terjadi saat dirinya masih menjabat sebagai Sekretaris NCB Interpol pada 2013-2015. "Taiwan 2014, Korea 2015 kalau tidak salah," katanya.
Tak hanya di luar negeri. Interpol Indonesia juga sempat mendeteksi kemungkinan Tjandra kembali ke Tanah Air pada awal 2015. Hal ini setelah muncul pemberitaan orangtua Tjandra meninggal dunia. Saat itu, kata Setyo, pihaknya mengirimkan surat kepada Direktorat Jenderal Imigrasi Kemkumham dan Kejaksaan Agung. "Kami menjelaskan bahwa Joko Tjandra adalah buronan atau DPO Kejagung. Kami juga mencantumkan ada dua identitas karena kami mendapat adendum dari Red Notice adanya identitas baru dari yang bersangkutan dan nomor paspor yang bersangkutan dari negara Papua Nugini," kata Setyo.
Dari surat itu, Interpol bersama-sama Bareskrim, Imigrasi dan Kejaksaan Agung kemudian memantau sejumlah lokasi yang kemungkinan didatangi Joko Tjandra. Namun, kata Setyo, saat itu, Joko Tjandra tak menampakkan diri. "Kami ingat betul mendapat laporan pelaksanaan tugas kegiatan tersebut baik di rumah duka, pemakaman maupun bandara Halim, ternyata nihil tidak diketemukan," katanya.
Diketahui, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Prasetijo Utomo selaku Kabiro Kordinasi Pengawasan PPNS Bareskrim Polri telah menerima suap sejumlah USD 150 ribu dari Joko Tjandra. Uang suap itu diterima Prasetijo bersama-sama Irjen Napoleon Bonaparte lewat perantara Tommy Sumardi. Irjen Napoleon sendiri menerima SGD 200.000 dan US$ 270.000 . Suap itu diberikan agar Prasetijo dan Napoleon mengurus penghapusan nama Joko Tjandra dalam daftar red notice Polri.
Sumber: BeritaSatu.com