Jakarta, Beritasatu.com - Kejaksaan Agung (Kejagung) bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan mengawasi penyelesaian aset bermasalah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di Gili Trawangan. Kedua lembaga penegak hukum tersebut mengkaji penyelesaian persoalan pengelolaan pulau wisata aset negara, yang dilakukan oleh PT Gili Trawangan Indah (GTI) di Lombok. Kini, KPK dan Kejaksaan Agung mempelajari surat kuasa khusus (SKK) yang diberikan Gubernur NTB Zulkieflimansyah kepada Kejaksaan Tinggi NTB.
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), Feri Wibisono mengatakan, pihaknya saat ini sedang mempelajari surat kuasa khusus terkait penyelesaian lahan Gili Trawangan yang diberikan Gubernur NTB Zulkieflimansyah kepada Kepala Kejaksaan Tinggi NTB, Nanang Sigit Yulianto. Setelah dipelajari, Feri memastikan akan ikut memantau jalannya proses penyelesaian aset milik Pemerintah Provinsi NTB yang dikelola oleh swasta hingga 70 tahun itu. Namun, kata dia, Kejaksaan Agung sifatnya memback up Kejaksaan Tinggi NTB.
“Tentu, kita akan ikut mengawasi. Saya akan cek dulu seperti apa isi SKK-nya. Karena kan macam-macam SKK itu. Ada penyelesaian perkara, melakukan gugatan dan sebagainya,” kata Feri di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin ( 30/11/2020).
Sementara Plt Jubir KPK, Ipi Maryati Kuding menjelaskan salah satu alasan KPK meminta Pemerintah Provinsi NTB melakukan peninjauan kembali kontrak kerja sama ini. Dikatakan, berdasar temuan BPK pada semester 1 tahun 2019 menyimpulkan adanya kejanggalan dalam perjanjian pengelolaan aset milik negara tersebut.
“Rekomendasi atas temuan BPK tersebut meminta dilakukannya evaluasi perjanjian kerja sama Pemprov NTB dengan PT GTI, mengingat sudah hampir 30 tahun PT GTI tidak juga membangun wilayah sesuai perjanjian,” kata Ipi.
Dipaparkan Ipi, SKK terkait lahan Gili Trawangan seluas 65 hektar dikerjasamakan antara Pemprov NTB dengan PT GTI dan total nilai asetnya Rp 2,02 triliun. Lahan ini termasuk dalam hamparan keseluruhan aset milik Pemprov di Gili Trawangan seluas 75 hektar dengan total nilai Rp 2,3 triliun.
“Nilai tersebut merupakan hasil penilaian atas objek pajak oleh Kanwil DJKN Bali dan Nusa Tenggara pada tahun 2018. Total keseluruhan aset seluas 75 hektar ini sudah tercatat di daftar inventaris barang milik daerah Pemprov. KPK mengimbau agar semua pihak mendukung percepatan penyelesaian permasalahan aset tersebut,” kata Ipi.
Secara terpisah, Pengajar bidang Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji menyatakan, pemberian SKK adalah salah satu alternatif untuk memperbaiki pengelolaan Gili Trawangan menjadi lebih baik. KPK, dalam konteks pencegahan, berupaya memperbaiki dugaan mismanagement korporasi yang mengarah adanya potensi kerugian negara.
“Jadi, pemberian SKK ini merupakan pilihan terbaik. Agar pelaku-pelaku berkepentingan tidak terlibat dampak korupsi yang justru merugikan Pemprov,” kata Indriyanto yang juga mantan Komisioner KPK.
Terhadap pengelolaan aset itu, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi meminta pemerintah untuk langsung mengambil-alih melakukan penyelidikan terhadap pengelolaan pulau wisata Gili Trawangan. Ditegaskan, KPK merupakan lembaga penegak hukum, bukan lembaga administratif.
“Langsung saja KPK lakukan penyelidikan, tidak perlu surat menyurat. KPK kan bukan lembaga administrasi, langsung bertindak. Kalau kirim surat menyurat ya lama, bakal dicuekin lah,” kata Uchok.
Menurut Uchok, persoalan pengelolaan lahan milik Pemerintah Provinsi NTB momentum bagi KPK untuk unjuk gigi lagi.
“Padahal sekarang momen bagi KPK untuk menunjukkan tajinya lagi, langsung saja lakukan penyelidikan,” katanya.
Diketahui, Kejaksaan Tinggi NTB telaj resmi menerima surat kuasa khusus dari Gubernur NTB, Zulkieflimansyah untuk menyelamatkan aset negara di Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara. SKK ini berkaitan dengan perjanjian kerja sama di bidang usaha pariwisata antara Pemprov NTB dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI). PT GTI mendapat hak kelola usaha pariwisata di atas lahan seluas 65 hektare. Kontrak selama 70 tahun itu terhitung sejak penandatanganan kerja sama di tahun 1995.
"Sesuai SKK yang kami terima, nantinya kami akan mencari jalan penyelesaian di luar pengadilan, yakni dengan cara mediasi dan negosiasi," kata Kajati NTB, Nanang Sigit Yulianto.
Sumber: BeritaSatu.com