Jakarta, Beritasatu.com - Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung (Kejagung), Pinangki Sirna Malasari mengaku membeli satu unit mobil mewah BMW X5 setelah memenangkan suatu kasus. Pengakuan itu diungkapkan Sales Center PT Astra International BMW yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap, pencucian uang dan pemufakatan jahat dengan terdakwa Pinangki di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (2/12/2020).
Mulanya, Jaksa bertanya pada Yeni mengenai pembelian mobil merek BMW X5. Menjawab hal itu, Yeni mengaku bertemu di pameran BMW di Senayan, Jakarta. Singkat cerita, Pinangki sepakat membeli mobil BMW X5 dengan uang muka (down payment/DP) Rp 25 juta. Saat itu, Pinangki meminta pembayarannya dilakukan secara tunai secara bertahap dengan nilai total Rp 1,709 miliar. "Terdakwa (Pinangki) transfer sebesar Rp 475 juta, kedua 9 Desember Rp 490 juta setoran tunai BCA, kemudian 11 Desember Rp 490 juta setoran tunai BCA, pada 13 Desember sebesar Rp 100 juta transfer bank panin, 13 Desember 2019 Rp 129 juta transfer bank, total lima kali pembayaran," kata Yeni dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (2/12/2020).
Jaksa kemudian membacaka Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang menyebutkan Pinangki membeli mobil BMW X5 setelah memenangkan suatu kasus. Saat dikonfirmasi, Yeni membenarkan hal tersebut. Dikatakan, alasan memenangkan kasus juga tertulis di data dealer. "Jadi kayak laporan dari dealer, bukti dari kantor, nggak tahu, kaya print-printan begitu. Kan kalau biasanya pembelian kita laporin," kata Yeni.
Namun Yeni mengungkapkan, Pinangki menolak saat dirinya menawarkan agar pembelian mobil itu dilaporkan ke Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Yeni tak mengetahui dan tak bertanya kepada Pinangki mengenai alasannya menolak melaporkan pembelian mobil mewah tersebut. "Kalau customer keberatan kita tidak memaksa," kata Yeni.
Persidangan kali ini juga mengungkap mengenai pembayaran sewa unit apartemen yang dihuni Pinangki. Inhouse Marketing Dharmawangsa Apartement Sinta Gunawan yang dihadirkan sebagai saksi mengaku Pinangki pertama kali menghubunginya pada 2016. Kemudian, Pinangki pernah membayar sewa apartemennya menggunakan mata uang asing melalui asistennya. Secara total sewa apartemen yang dibayarkan Pinangki mencapai Rp 5,5 miliar. "Pernah dengan mata uang asing sekali selebihnya rupiah," kata Sinta.
Diketahui, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Pinangki menerima suap US$ 500.000 dari US$ 1 juta yang dijanjikan oleh Joko Soegiarto Tjandra alias Djok Tjandra. Suap itu diberikan kepada Pinangki melalui pengusaha Andi Irfan Jaya untuk mengurus permintaan fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejagung agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Tjandra berdasarkan putusan PK (Peninjauan Kembali) Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana.
Atas perbuatannya, Pinangki didakwa melanggar Pasal 5 ayat (2) Juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, Pinangki juga didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Untuk pemufakatan jahat, Pinangki didakwa melanggar Pasal 15 Juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 88 KUHP.
Sumber: BeritaSatu.com