Palu, Beritasatu.com - Pemerintah diminta mengevaluasi kembali secara menyeluruh pelaksanaan Operasi Tinombala dalam upaya menumpas gerakan terorisme Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora yang berbasis di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng).
Sejak operasi militer itu dilakukan tahun 20015 hingga saat ini, dinilai tidak mampu menuntaskan kasus-kasus kekerasan yang dilakukan para terduga terorisme dan telah menimbulkan banyak sekali korban jiwa, baik di pihak warga sipil maupun aparat keamanan TNI dan Polri.
Hal tersebut dikatakan oleh Direktur Lembaga Pengembangan Studi dan Hak Asasi Manusia (LPSHAM) Sulawesi Tengah Mohamad Affandi, dalam wawancara dengan BeritaSatu.com, Kamis (3/12/2020).
“Dimulai dengan Operasi Camar Maleo pada 2015 dan dilanjutkan dengan Operasi Tinombala 2016 sampai 2020, saya melihat operasi ini gagal memberikan keamanan bagi warga sipil. Buktinya korban terus berjatuhan, dan kehidupan masyarakat terus dipenuhi ketakutan,” kata Affandi.
Dalam catatan LPSHAM, kata Affandi, tidak kurang dari 15 orang warga sipil yang telah menjadi korban kekejaman kelompok MIT pimpinan Ali Kalora sejak akhir 2014. Para korban adalah penduduk yang bermukim di wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten Parigi Moutong, dan Kabupaten Sigi, wilayah-wilayah yang diduga telah menjadi daerah pergerakan kelompok terorisme tersebut.
Affandi mengatakan, hal yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah melakukan evaluasi atas operasi-operasi keamanan yang telah berlangsung dengan melibatkan semua komponen masyarakat dalam evaluasi tersebut.
Affandi lebih jauh menjelaskan, pergerakan MIT pimpinan Ali Kalora di wilayah Poso dan sekitarnya, terdiri dari tiga komponen yang bergerak.
“Yang pertama adalah kelompok hitam, kedua adalah kelompok putih, dan ketiga adalah kelompok yang berada di gunung (hutan),” paparnya.
Dijelaskan, kelompok hitam adalah kelompok yang "bermain" atau bergerak di kota dengan melakukan teror hingga menimbulkan kekacauan dan ketakutan bagi masyarakat.
Sedangkan kelompok putih, lanjut Affandi, adalah kelompok khusus yang menggalang dukungan untuk memenuhi kebutuhan kelompok yang berada di gunung.
Diperkirakan, kata Affandi, jumlah kelompok yang ada di gunung atau di hutan hanya sekitar 11 orang, sebagaimana yang menjadi daftar pencarian orang (DPO) oleh aparat keamanan.
“Kelompok ini berhubungan satu sama lain. Kalau yang di gunung tidak menyebarkan paham radikal. Yang menyebarkan paham radikal adalah kelompok hitam dan kelompok putih yang berada di kota atau di tengah masyarakat. Jadi menumpas semua kelompok di gunung tidak memberi jaminan kasus terorisme di Poso berakhir,” ujar Affandi.
Affandi menambahkan, selain aksi kekerasan di pinggiran kota, juga terjadi kontak tembak di tengah kota melibatkan para terduga terorisme itu. Seperti yang terjadi di depan kantor Bank Syariah Mandiri Poso di Kota Poso, pada April 2020 lalu. Kontaknya jelas di tengah kerumunan masa di tempat fasilitas umum.
Menurut Affandi, kelompok-kelompok tersebutlah yang seharusnya diundang untuk berdialog kemudian dimintai apa keinginan mereka. Karena kelompok ini tidak bicara lagi tentang kasus-kasus konflik tapi murni menyebarkan paham radikal yang berbuntut kepada aksi-aksi terororisme.
“Cara penyebaran informasinya pun melalui media sosial. Kalau bertemu secara langsung agak susah karena ketatnya penjagaan oleh aparat keamanan,” ujarnya.
Affandi mengaku, pihaknya pernah ditawarkan untuk ikut membantu menurunkan Santoso (pemimpin MIT yang sudah tewas ditembak aparat), waktu Santoso masih hidup. Namun, belum sempat rencana itu terlaksana, kata Affandi, Santoso sudah ditembak mati oleh aparat dalam suatu operasi Satgas Tinombala di wilayah Poso.
Setelah kematian Santoso pada 2016, pimpinan kelompok MIT kemudian diambil alih oleh Ali Kalora hingga saat ini.
Menurut Affandi, peristiwa pembunuhan yang menewaskan empat warga sipil di Dusun Lewonu, Desa Lembantongoa, Kabupaten Sigi, pada 27 November 2020 lalu, merupakan bentuk tindakan untuk menarik perhatian publik atas keberadaan para terduga terorisme tersebut.
“Saya menduga mereka sengaja ingin membuat aksi di sana untuk menarik perhatian internasional,” ujarnya.
Sumber: BeritaSatu.com