Jakarta, Beritasatu.com - Pandemi Covid-19 di Indonesia belum diketahui kapan melandai. Penambahan kasus harian terus bertambah di posisi 5.000 hingga 7.000 lebih. Hingga 28 Desember 2020 data Covid-19 internasional menunjukkan Indonesia berada di posisi ke-20, dan bahkan peringkat pertama di Asean dengan jumlah kasus aktif terbanyak.
Ini menjadi masalah karena data menunjukkan bahwa peningkatan kasus aktif juga memicu angka kematian tenaga kesehatan terus bertambah. Peningkatan kasus aktif menandakan banyak orang tanpa gejala (OTG) berkeliaran, dan beban tenaga medis semakin tinggi. Kasus aktiflah yang ditangani oleh tenaga kesehatan sehingga lebih berisiko tinggi terpapar virus.
Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebutkan Indonesia masih termasuk 10 negara dengan angka kematian nakes tertinggi di dunia selain Italia, Meksiko, Brasil, Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Afrika Selatan, dan lainnya. Hingga 24 Desember jumlah nakes yang meninggal dunia akibat Covid-19 sebanyak 465 orang, di mana 230 di antaranya adalah dokter.
Koordinator Tim Standarisasi dan Protokol Mitigasi PB IDI, Eka Ginanjar, mengatakan, ketika kasus positif di masyarakat melonjak, maka kapasitas pelayanan kesehatan kewalahan. Juga menyebabkan menumpuknya pasien Covid-19 dan angka kematian nakes. Akibatnya akan ada beban ganda karena banyak pasien Covid-19 tidak akan tertangani dengan baik. Di saat bersamaan pasien non Covid-9 pun tidak tertangani karena fasilitas kesehatan kehilangan dokter spesialis obgyn, THT dan penyakit dalam. Kemungkinan juga rumah sakit fokus ke pelayanan Covid-19.
Oleh karena itu, menurut Eka perlu pengendalian risiko transmisi virus Covid-19 berdasarkan tingkat risiko. Menurut Eka, unit paling tinggi risiko penularan adalah di poli. Karena ketika pasien datang dalam posisi tidak mengetahui dirinya positif atau tidak. Oleh karena itu, pengendalian ketat harus dilakukan. Adapun standar pengendaliannya, misalnya mengatur sirkulasi udara sedemikian rupa agar menciptakan aliran udara yang sehat.
Kemudian zonasi rumah sakit sangat diperlukan. Harus zonasi per gedung, bukan zonasi per lantai. Karena sirkulasi udara dan titik titik pertemuan pada zonasi lantai itu sangat menyulitkan, misalnya pada lift, pintu keluar dan lainnya perlu diperhatikan. Kemudian pembatasan tempat praktik dokter terfokus satu tempat. Para dokter juga diminta untuk mematuhi pedoman penggunaan alat pelindung diri (APD) pada saat memakai atau melepasnya.
“Dokter jangan mengangggap remeh APD. Kalau ada tenaga kesehatan yang bandel mungkin dilarang praktik saja, atau Komite Medik Rumah Sakit memanggil dan menasehati, karena dia membahayakan teman sejawatnya,” kata Eka pada simposium ilmiah “Diseminasi Pedoman Standar Perlindungan Dokter di Era Pandemi Covid-19”, Selasa (29/12/2020).
Yang paling penting adalah melaporkan diri dan menghentikan kegiatan sebagai nakes apabila masuk dalam kriteria kasus. Kalau sudah muncul gejala sebaiknya berhenti melayani di RS. Pastikan dulu gejala itu bukan Covid-19 baru bisa bekerja kembali. Jangan memaksakan diri bekerja yang kemudian membahayakan nakes lainnya. Juga diingatkan untuk dokter yang berusia di atas 60 tahun tidak direkomendasikan melayani pasien Covid-19.
Tim Standarisasi dan Protokol Mitigasi PB IDI, dr Telogo Wismo Agung Durmanto menambahkan, dalam rentang waktu 6 bulan yakni Maret hingga Agustus 2020 sebanyak 101 dokter meninggal karena Covid-19. Sementara 123 dokter lainnya meninggal dalam kurun waktu 4 bulan mulai September hingga Desember.
Menurutnya, media penularan saat dokter bekerja melayani pasien itu sangat banyak tidak hanya di rumah sakit rujukan melainkan juga di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas, klinik, dan dokter praktik perorangan. Mulai dari pemeriksaan awal pasien datang hingga perawatan dan sembuh. Dalam proses inilah tanpa sadar dokter bisa terinfeksi. Oleh karena FKTP harus memfasilitasi nakesnya dengan fasilitas standar untuk mencegah penularan Covid-19.
Misalnya, kalau ada persalinan dengan penyulit maka itu tugas rumah sakit untuk menyediakan tempat. Kadang ada rumah sakit yang kehabisan tempat sehingga pasien dengan penyulit menunggu terlalu lama untuk mendapat rujukan. Jika persalinan normal menunggu rujukan rumah sakit yang juga melayani pasien Covid-19, kadang terlanjur melahirkan di FKTP. Ini jadi tantangan untuk melengkapi fasilitas yang baik dan standar.
Sumber: BeritaSatu.com