Jakarta, Beritasatu.com - Kasubdit TPK dan TPPU Direktorat Upaya Hukum Luar Biasa Eksekusi dan Ekseminasi (Uheksi) pada Jampidsus Kejaksaan Agung, Syarief Sulaeman membantah pernyataan mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung (Kejagung), Pinangki Sirna Malasari yang mengklaim telah melaporkan keberadaan Djoko Tjandra di Malaysia kepada jajaran Uheksi Kejagung.
Bantahan atas pernyataan koleganya di Kejagung ini disampaikan Syarief saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang perkara dugaan suap dengan terdakwa Djoko Tjandra di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (14/1/2021).
Mulanya, Jaksa Penuntut Zulkipli mengonfirmasi kepada Syarief mengenai adanya laporan resmi dari seseorang terkait posisi Djoko Tjandra yang saat itu menjadi buronan Kejagung atas perkara korupsi pengalihan hak tagih atau cessie Bank Bali.
Menjawab pertanyaan itu, Syarief menyatakan tidak pernah mendapat laporan tersebut. "Tidak ada (laporan), tidak pernah ada," kata Syarief.
Jaksa kembali bertanya kepada Syarief mengenai adanya laporan yang bersumber dari Pinangki baik secara langsung maupun tidak langsung yang terkait Djoko Tjandra dalam rentang 2019 hingga 2020. Syarief menegaskan, selama menjabat sebagai Kasubdit di Direktorat Uheksi tidak pernah menerima laporan terkait Joko Tjandra.
"Tidak ada, tidak pernah ada, kalau secara formal surat tidak ada," jawab Syarief.
Syarief menegaskan tidak pernah ada laporan dari Pinangki atau pihak manapun terkait keberadaan Djoko Tjandra di Malaysia saat menjadi buronan. Bahkan, Syarief menyatakan kesediaannya untuk dikonfrontasi dengan Pinangki mengenai laporan keberadaan Joko Tjandra tersebut.
"Tidak ada, boleh dikonfrontir (dengan Pinangki)," tegasnya.
Dalam sidang pemeriksaan terhadap dirinya sebagai terdakwa pada Rabu (6/1/2021), Pinangki mengaku sudah memberikan informasi keberadaan Djoko Tjandra kepada jajaran Direktorat Uheksi Kejagung. Informasi itu, disampaikan Pinangki setelah bertemu secara langsung dengan Djoko Tjandra di kantornya di Malaysia. Bahkan, Pinangki mengklaim Direktorat Uheksi sudah memantau keberadaan Djoko Tjandra di Malaysia.
"Memang dari Direktorat Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi sudah memantau keberadaan Djoko Tjandra di Malaysia. Tapi karena proses hubungan politis bilateral, MLA, jadi harus ada proses lain. Mereka sudah memantau keberadaan Djoko Tjandra tapi. Nah, pada bulan November saya sampaikan, saya tunjukkan foto-fotonya (Djoko Tjandra) ke Aryo selaku Kasi Uheksi tersebut," jawab Pinangki.
Pinangki menambahkan, pada Juni 2020 mendapat informasi Djoko Tjandra mengajukan PK. Informasi itu kemudian disampaikan Pinangki kepada Aryo.
"Saya WA ke Aryo, saya sampaikan ke dia, Mas Aryo ini kok ada orang ngajukan PK tapi orangnya tidak lapor Kejaksaan, tidak hadir, apa itu tidak masalah," kata Pinangki.
Saat itu, Pinangki menyebut Aryo telah melaporkan informasi itu kepada Direktoratnya. Menurut Pinangki, Kejagung sudah mengetahui pengajuan PK yang dilakukan Djoko Tjandra.
"Ternyata kata Aryo dari institusi sudah memantau keberadaan dia. Jadi sudah tahu duluan, bukan saya yang melaporkan. Dan saya tidak tahu kalau Jaksa sudah tahu tanpa saya infokan itu," terang Pinangki lagi.
Diketahui, Djoko Tjandra didakwa memberikan suap sejumlah USD 500.000 dari yang dijanjikan USD 1 juta kepada Pinangki Sirna Malasari selaku Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung melalui pengusaha Andi Irfan Jaya yang juga mantan politikus Nasdem.
Suap itu diberikan Djoko Tjandra kepada Pinangki untuk mengurus fatwa ke Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung agar pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga dia bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.
Selain menyuap Pinangki terkait permintaan fatwa ke MA, Djoko Tjandra juga didakwa menyuap Brigjen Prasetijo Utomo selaku Kabiro Kordinasi dan Pengawasan PPNS Polri dan Irjen Napoleon Bonaparte selaku Kadiv Hubinter Polri untuk menghapus namanya dari daftar red notice Polri atau status daftar pencarian orang (DPO).
Melalui perantara Tommy Sumardi, Djoko Tjandra memberikan suap sebesar SGD 200.000 dan USD 270.000 kepada Napoleon, serta USD 150.000 untuk Prasetijo.