Jakarta, Beritasatu.com - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencurigai aktivitas gempa susulan yang meluruh dan terpantau miskin gempa. Dua kemungkinan bisa saja terjadi, energi gempa habis atau ada pengumpulan energi baru. Terlepas dari dua kemungkinan ini, BMKG mengimbau masyarakat tetap mewaspadai potensi gempa.
Dari pemantauan BMKG, pada Sabtu (16/1/2021) pagi pukul 06.32.55 WIB wilayah Majene dan Mamuju, Sulawesi Barat kembali diguncang gempa susulan dengan magnitudo 4,8. Episenter terletak di darat pada jarak 29 km arah Tenggara Kota Mamuju. Pusat gempa ini relatif sedikit bergeser ke utara dari kluster seismisitas yang sudah terpetakan.
Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan, gempa ini adalah gempa ke-32 yang terjadi sejak terjadinya gempa pembuka dengan magnitudo 5,9 pada Kamis (14/1/2021) siang. Tetapi gempa ini menjadi gempa ke-23 pascagempa utama dengan magnitudo 6,2 pada Jumat (15/1/2021) dini hari.
"Jika mencermati aktivitas gempa Majene saat ini, tampak produktivitas gempa susulannya sangat rendah. Padahal stasiun seismik BMKG sudah cukup baik sebarannya di daerah tersebut. Sehingga gempa-gempa kecil pun akan dapat terekam dengan baik," katanya di Jakarta, Sabtu (16/1/2021).
Daryono menambahkan bahwa hasil monitoring BMKG menunjukkan bahwa gempa Majene ini memang miskin gempa susulan.
"Fenomena ini agak aneh dan kurang lazim. Gempa kuat di kerak dangkal (shallow crustal earthquake) dengan magnitudo 6,2 mestinya diikuti banyak aktivitas gempa susulan," imbuhnya.
Akan tetapi hasil monitoring BMKG menunjukkan hingga hari kedua pasca terjadinya gempa utama magnitudo 6,2 hingga saat ini baru terjadi 23 kali gempa susulan.
Jika kita bandingkan dengan kejadian gempa lain sebelumnya dengan kekuatan yang hampir sama, biasanya pada hari kedua sudah terjadi gempa susulan sangat banyak, bahkan sudah dapat mencapai jumlah sekitar 100 gempa susulan.
Ia menjelaskan, apakah fenomena rendahnya produksi aftershocks di Majene ini disebabkan karena telah terjadi proses disipasi, di mana medan tegangan di zona gempa sudah habis sehingga kondisi tektonik kemudian menjadi stabil dan kembali normal?
Atau justru malah sebaliknya, dengan minimnya aktivitas gempa susulan ini menandakan masih tersimpannya medan tegangan yang belum rilis, sehingga masih memungkinkan terjadinya gempa signifikan nanti?
"Fenomena ini membuat kita menaruh curiga, sehingga lebih baik kita patut waspada," ucapnya.
Baginya, inilah perilaku gempa, sulit diprediksi dan menyimpan banyak ketidakpastian. Sehingga baru dapat mengkajinya secara spasial dan temporer, akan tetapi untuk mengetahui besarnya medan tegangan riil dan perubahannya pada kulit bumi masih sulit dilakukan.
Sumber: BeritaSatu.com