Jakarta, Beritasatu.com - Mahkamah Agung (MA) menyebut hanya 8 persen permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan terpidana korupsi yang dikabulkan Majelis Hakim PK. Dengan demikian, MA menepis anggapan, PK menjadi modus koruptor agar hukumannya berkurang.
"Menurut data yang ada, hanya 8 persen yang memang dikabulkan, jadi masih ada 92 persen yang ditolak," kata Wakil Ketua MA bidang Yudisial, Andi Samsan Nganro dalam sebuah diskusi secara daring, Jumat (22/1/2021).
Andi Samsan yang juga Juru Bicara MA menegaskan, dalam memutuskan suatu perkara Majelis Hakim, termasuk Majelis Hakim PK tidak dapat diintervensi oleh siapapun, bahkan oleh Ketua MA. Untuk itu, maraknya pemotongan masa hukuman terpidana korupsi melalui putusan PK tak dapat disimpulkan sebagai pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Ditegaskan, MA mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi. Di sisi lain, Andi Samsan menyatakan, sebagai lembaga peradilan, tugas MA tidak sekadar menegakkan hukum dengan memberikan efek jera tetapi juga menegakkan keadilan, termasuk keadilan bagi terpidana kasus korupsi.
"Kami mempertimbangkan semua, kami sinergikan semua kemudian melahirkan sebuah putusan berdasarkan ya kami akan pertimbangkan juga, kami tidak gegabah begitu, kami juga pertimbangan pada hati nurani, apakah ini sudah adil, apakah ini sudah tepat," katanya.
Andi Samsan Nganro membeberkan sejumlah pertimbangan yang dapat membuat Majelis Hakim memutuskan mengabulkan permohonan PK terpidana korupsi. Salah satunya, adanya disparitas pada pemidanaan yang umumnya terjadi pada perkara tindak pidana yang dilakukan beberapa orang. Mantan Ketua Kamar Pengawasan MA ini menyebut pihaknya beberapa kali hukuman seorang terpidana dipukul rata dengan terpidana lainnya. Padahal dalam perkara itu, terpidana tersebut telah mengembalikan suap yang diterima atau perbuatan lain yang dapat meringankan hukuman.
"Bahwa ya jadi terjadi diskriminasi hukum, menimbulkan ketidakadilan, ya bagaimana MA memutus perkara kasasi, kendati Majelis Hakim berbeda kok berbeda-beda. Inilah yang antara lain yang dijadikan alasan untuk mengajukan PK. Nah kalau diajukan PK perkara yang demikian itu ya Majelis Hakim PK itu ya tetap akan mempertimbangkan," kata Andi.
Alasan lainnya, yakni pemohon PK merasa keberatan dengan hukuman yang diberikan. Dicontohkan, seorang pelaku utama dihukum ringan, sementara pihak yang membantu justru dihukum berat.
"Dari segi hukum pidana membantu itu ya itu salah satu alasan yang bisa meringankan artinya tidak sama dengan pelaku pemeran utama," jelasnya.
Selain itu, Andi Samsan mengatakan, dikabulkannya permohonan PK merupakan independensi hakim untuk menilai suatu perkara berdasarkan rasa keadilan.
"Sebab menentukan berat ringannya pidana juga itu merupakan suatu seni, suatu pertimbangan memerlukan suatu bekerjanya fungsi-fungsi rasio, fungsi hari nurani dan lain lain," katanya.
Sumber: BeritaSatu.com