Jakarta, Beritasatu.com - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memastikan lokasi pascabencana banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel) dipulihkan. Meski KLHK menyebut, curah hujan ekstrem menjadi faktor utama penyebab banjir, namun tidak menampik adanya kerusakan ekologis.
"Tetapi faktor utamanya adalah curah hujan yang double ekstrem. Data BMKG sangat jelas menunjukkan hal itu," kata Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Karliansyah di Jakarta, Jumat (22/1/2021).
Ia menjelaskan, langkah perbaikan sudah dilakukan seperti rehabilitasi lahan, penanaman pohon dan pembangunan konservasi tanah dan air. Tetapi dengan kejadian ini lanjutnya, tentu akan lebih ditingkatkan lagi luasan pemulihannya terutama di lokasi-lokasi sumber banjir.
Banjir besar yang melanda 10 kabupaten/kota di Kalsel menyebabkan lumpuhnya aktivitas masyarakat. Selain itu sawah di sejumlah wilayah juga diperkirakan gagal panen. Peternakan juga mengalami kerugian akibat banjir besar tersebut.
Terkait tuntutan perusahaan yang memiliki usaha di lokasi untuk ikut bertanggung jawab dalam pemulihan, Karliansyah menyebut, pihaknya saat ini sedang memfinalisasi rancangan Perpres tentang percepatan pemulihan lingkungan akibat aktivitas pertambangan.
"Jadi dengan landasan perpres tersebut, kita bisa minta para pemilik konsesi pertambangan untuk mempercepat rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS) yang selama ini juga sudah merek lakukan," ucapnya.
Sebelumnya, dalam konferensi pers virtual baru-baru ini Karliansyah menyebut banjir yang terjadi di Kalsel disebabkan oleh anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di DAS Barito wilayah Kalsel. DAS Barito Kalsel seluas 1,8 juta hektare (ha) hanya merupakan sebagian dari DAS Barito Kalimantan seluas 6,2 juta ha.
DAS Barito Kalsel secara kewilayahan hanya mencakup 39,3% kawasan hutan dan 60,7% areal penggunaan lain (APL) bukan hutan. Kondisi wilayah DAS Barito Kalsel tidak sama dengan DAS Barito Kalimantan secara keseluruhan. Sangat jelas lanjutnya, bahwa banjir pada DAS Barito Kalsel yaitu pada daerah tampung air (DTA) Riam Kiwa, DTA Kurau dan DTA Barabai karena curah hujan ekstrem dan sangat mungkin dengan periode perulangan 50 hingga 100 tahun.
''Penyebab utamanya terjadi anomali cuaca dengan curah hujan sangat tinggi. Selama lima hari dari tanggal 9-13 Januari 2021, terjadi peningkatan 8-9 kali lipat curah hujan dari biasanya. Air yang masuk ke sungai Barito sebanyak 2,08 miliar m3, sementara kapasitas sungai kondisi normal hanya 238 juta m3,'' ungkap Karliansyah.
Daerah banjir berada pada titik pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander serta fisiografi-nya berupa tekuk lereng (break of slope), sehingga terjadi akumulasi air dengan volume yang besar.
Untuk itu KLHK memberikan rekomendasi kepada pemda dan stakeholder lainnya, yaitu pembuatan bangunan konservasi tanah dan air (sumur resapan, gully plug, dam penahan) terutama pada daerah yang limpasannya ekstrem. Selain itu mempercepat dan memfokuskan kegiatan rehabilitasi hutan lindung di daerah sumber penyebab banjir, dan pembuatan bangunan-bangunan pengendali banjir.
Pemulihan Tata Ruang
Pakar Lingkungan Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa berpendapat, ada sejumlah hal yang perlu dilihat sebagai penyebab bencana banjir di Kalsel.
Menurutnya, hilangnya kearifan lokal penduduk. Sungai menjadi sumber kehidupan dan akses transportasi. Namun tekanan terhadap tepian sungai juga meningkat dan ada aktivitas bermukim di wilayah yang memang banjir. Oleh sebab itu, masyarakat perlu mempertahankan kearifan lokal menghadapi banjir periodik di wilayah tertentu.
Kemudian berikutnya, persoalan ekologis. Terjadinya pembabatan hutan akan menyebabkan banjir. Tata ruang menjadi persoalan di sini. Penataan tata ruang perlu diperbaiki disertai penegakan hukum. Deforestasi yang disengaja ataupun tidak bisa menyebabkan banjir.
"Di setiap kabupaten provinsi sudah jelas tata ruang mana boleh dibudidaya mana yang tidak. Bisa jadi penataan tata ruangnya keliru dan perlu diperbaiki," katanya.
Faktor berikutnya persoalan hidrometeorologi karena perubahan iklim. Tahun 2020 lanjutnya, terjadi kenaikan suhu 1,2 derajat celcius. Dampak perubahan iklim meningkat, kondisi normal pun kata dia, kalau cuaca ekstrem akan terjadi banjir.
"Yang terjadi saat ini (banjir Kalsel) gabungan ketiga itu. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebut sejak 2001 sampai sekarang kejadian banjir terus meningkat," ungkapnya.
Oleh sebab itu, tata ruang perlu diperbaiki. Tata ruang tersebut harus berketahanan terhadap perubahan iklim. Selain itu penegakan aturan tata ruang dan membangkitkan kearifan lokal hidup harmoni dengan lingkungan. Untuk pemulihan lingkungan sudah banyak kajian ilmiah yang bisa dipergunakan.
Sumber: BeritaSatu.com