Penangkapan 10 Mahasiswa UNS Tunjukkan Melempemnya Demokrasi di Indonesia

Jakarta, Beritasatu.com - Setara Institute menekankan penangkapan terhadap 10 mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo menunjukkan semakin melempemnya demokrasi di Indonesia. Penangkapan tersebut mencerminkan langgengnya upaya memberangus kebebasan berekspresi atau freedom of expression di negara demokratis ini.
Diketahui, aparat kepolisian menangkap 10 mahasiswa yang membentangkan poster di beberapa akses masuk menuju Kampus UNS ketika Presiden Jokowi menghadiri Forum Rektor Perguruan Tinggi se-Indonesia, Senin (13/9/2021). Poster yang mereka bentangkan itu di antaranya bertuliskan "Pak Jokowi tolong tuntaskan pelanggaran HAM".
"Penangkapan kesepuluh mahasiswa tersebut lagi-lagi menunjukkan betapa melempemnya demokrasi di negara hukum ini," kata Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani dalam keterangannya, Senin (13/9/2021).
Ismail menekankan, sebagai anak kandung demokrasi, penyampaian kritik untuk menyalurkan aspirasi merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi, sejarah reformasi telah menunjukkan bangsa ini telah keluar dari pembungkaman atas budaya demokrasi. Bahkan, konstitusi telah mengamanatkan kebebasan berpendapat dilindungi dan dijamin sebagaimana terejawantahkan dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.
"Pun, ketika freedom of expression adalah bagian dari derogable rights atau hak yang dapat dibatasi pemenuhannya, dalam kasus penangkapan 10 mahasiswa UNS ini, jelas tidak ada pernyataan yang menegaskan dalam pertimbangan apa hak-hak konstitusional mereka dibatasi sebagaimana amanat Pasal 28J ayat (2) konstitusi," tegas Ismail yang juga pengajar hukum tata negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dikatakan, dalam konstruksi hukum pidana, penangkapan adalah bagian dari upaya paksa yang hanya dapat dilakukan dengan syarat adanya surat tugas. Meski polisi berdalil tertangkap tangan, KUHAP mengharuskan adanya barang bukti. Sementara, jika yang dimaksud barang bukti adalah poster, maka polisi telah gagal dalam memahami konteks yang menjadi substansi dalam poster. Ismail mengingatkan, dalam hukum pidana, setidaknya ada lima kepentingan hukum yang dilindungi, yaitu nyawa, badan, kehormatan, kemerdekaan, dan harta benda. Jika yang dimaksud aparat adalah kesepuluh mahasiswa UNS tersebut telah mencederai kehormatan Presiden Jokowi melalui posternya, maka aparat lagi-lagi telah gagal memahami substansi dari kritik yang disampaikan melalui visualisasi poster.
"Sejatinya, tidak ada satu kalimat pun dalam poster yang mengarah pada pereduksian kehormatan Presiden. Vice versa (dan sebaliknya) pemerintah seharusnya menjadikan kritik para mahasiswa sebagai alarm betapa masih banyaknya pekerjaan rumah bagi negara untuk segera dituntaskan, terlebih perihal pelanggaran HAM masa lalu," tegasnya.
Ismail bahkan menilai aparat kepolisian telah melakukan penyalahgunaan kewenangan secara berlebihan atau excessive abuse of power jika berdalil penangkapan dilakukan karena para mahasiswa tidak mematuhi aturan dan syarat dalam menyampaikan pendapat. Aparat, katanya, perlu menilik lebih lanjut dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pasal 10 UU tersebut memang mensyaratkan adanya surat pemberitahuan secara tertulis kepada polri sebelum penyampaian pendapat. Namun, tidak ada satu klausula pun yang menyebutkan bahwa pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang tidak memenuhi ketentuan dapat dilakukan penangkapan. Bahkan,Pasal 15 UU itu justru hanya menyebutkan adanya sanksi pembubaran ketika penyampaian pendapat di muka umum tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang.
"Oleh karena itu, penangkapan yang dilakukan oleh aparat terhadap 10 mahasiswa UNS terang sebagai bentuk excessive abuse of power," tegasnya.
Ismail menilai penangkapan terhadap mahasiswa UNS ini semakin menambah deretan panjang kasus pembungkaman aspirasi masyarakat terhadap rezim saat ini. Dikatakan, penangkapan ini merefleksikan betapa antikritik-nya rezim. Untuk itu, Setara Institute mendesak pemerintah khususnya Presiden Jokowi untuk lebih membuka diri terhadap berbagai kritik dan aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat. Presiden, kata Ismail, sudah sepatutnya menjadikan berbagai kritik sebagai pelecut dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah yang belum tuntas hingga kini.
"Lebih lanjut, Kapolri perlu mengevaluasi dan mengingatkan aparat kepolisian untuk tidak bersikap excessive abuse of power atau sewenang-wenang terhadap masyarakat maupun mahasiswa terlebih saat dilakukannya penyampaian aspirasi perihal kinerja pemerintah di muka umum," katanya.
BERITA TERKAIT
BERITA TERKINI
Dukung Kaesang Gabung PSI, Projo: Bisa Ubah Apatisme Politik Anak Muda
Sahroni: Kasus Tewasnya Ajudan Kapolda Kaltara Jadi Pertaruhan Nama Baik Polri
Kasus Brigadir Setyo Herlambang, Polisi Diminta Tak Berikan Pernyataan Tanpa Fakta
Kaesang Gabung PSI, Gibran Ungkap Ada yang Coba Adu Domba dengan Alam Ganjar
Cak Imin Jadi Cawapres Anies, Massa 212 Diprediksi Dukung Prabowo
1
Polri Terbitkan 4 SKCK Bakal Capres dan Cawapres
B-FILES


Perlukah Presiden/Kepala Negara Dihormati?
Guntur Soekarno
Urgensi Mitigasi Risiko Penyelenggara Pemilu 2024
Zaenal Abidin
Identitas Indonesia
Yanto Bashri