Pakar: Moderasi Beragama Sangat Penting untuk Membangun Bangsa

Jakarta, Beritasatu.com - Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) Basri Modding mengatakan moderasi beragama dan toleransi keberagaman sangat penting untuk membangun kebangsaan dan kemanusiaan. Sumpah Pemuda menjadi dasar bersama bagaimana moderasi beragama diterapkan oleh bangsa Indonesia.
“Moderasi beragama adalah cara pandang, memahami dan mengamalkan ajaran agama agar melaksanakannya selalu dalam jalur moderat, seimbang. Moderat artinya tidak berlebihan, tidak ekstrem,” kata Basri dalam webinar Internasional Memperingati Hari Sumpah Pemuda kerja sama Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan Institut Leimena dengan tema “Moderasi Beragama dan Toleransi Keberagaman Melalui Pesantren Mahasiswa: Membangun Kebangsaan dan Kemanusiaan Melalui Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB)”.
Dalam keterangan pers diterima Beritasatu.com, Basri menjelaskan moderasi beragama bertujuan mewujudkan ketertiban dalam masyarakat, melindungi hak-hak pemeluk agama, serta mewujudkan ketentraman dan kedamaian untuk kesejahteraan umat beragama.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan nama Institut Leimena dipakai untuk mengenang pahlawan nasional Dr. Johannes Leimena, yang hampir 100 tahun lalu pada usia 23 tahun menjadi anggota panitia kongres pemuda yang melahirkan keputusan pada tanggal 28 Oktober 1928 selanjutnya diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Matius menambahkan, para pemuda pemudi saat itu datang mewakili berbagai organisasi dari beragam suku dan agama, tetapi mampu mendeklarasikan impian bersama untuk mereka perjuangkan, yaitu Tanah Indonesia, Bangsa Indonesia, dan Bahasa Indonesia, yang semuanya belum ada saat itu.
“Saya yakin mereka dapat bermimpi bersama bukan ‘terlepas’ dari agama kepercayaan masing-masing, tetapi justru karena penghayatan agama dan kepercayaan mereka, dan dialog di antara mereka yang berbeda, sehingga dapat menemukan titik-titik temu perjuangan bersama, tanpa harus meninggalkan atau mencampuradukkan ajaran agama masing-masing,” tandas Matius.
Wakil Rektor V Bidang Kerjasama dan Promosi UMI, Muh. Hattah Fattah mengatakan, UMI telah menerapkan moderasi beragama secara konkret lewat Pesantren Darul Mukhlisin yang berada di Padang Lampe, Sulawesi Selatan. Pesantren seluas 20 hektar itu bisa menampung 750 orang untuk sekali program pembinaan mahasiswa baru.
“UMI menyandang dua identitas utama yaitu Islam dan Indonesia. Oleh karena itu, kami sangat peduli kepada aspek Keislaman dan nasionalisme sehingga dalam membangun moderasi beragama, kita akan membangun cinta tanah air dan toleransi terhadap berbagai kalangan,” kata Hattah.
Program pesantren kilat di Pesantren Mahasiswa UMI Darul Mukhlisin yang diresmikan pada 22 September 2000, memberikan beragam materi kepada mahasiswa khususnya keagamaan dan pengembangan karakter, serta wawasan kebangsaan.
Staf ahli pada Satgas Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Muhammad Suaib Tahir mengatakan, radikalisme, intoleransi dan ekstremisme harus dihadapi dengan penyebaran narasi damai dan moderat di tengah masyarakat.
Menurutnya, sejumlah isu yang selalu diangkat oleh kelompok berpandangan ekstrim atau radikal yaitu persoalan terkait iman dimana orang yang berbeda selalu dianggap kurang iman.
Selain itu, kelompok radikal atau ekstrem mendukung khilafah yang melanggar konsensus bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Terakhir, munculnya paham takfiri atau mudah mengkafirkan orang lain.
“Diskusi moderasi beragama sangat penting terutama menjelaskan kepada masyarakat bahwa karakteristik moderasi beragama itu inklusif, bukan eksklusif. Dalam moderasi beragama, kita harus menjelaskan bagaimana Islam bersikap akomodatif bukan konfrontatif,” kata Suaib.
Sementara itu, alumni UMI, Ni Made Ayu, menyampaikan pengalamannya sebagai mahasiswa non-Muslim yang pernah mengikuti pendidikan di Pesantren Darul Mukhlisin. Ni Made mengakui sempat muncul kegelisahan saat menjalani pendidikan di UMI, namun saat mulai membuka diri justru mendapatkan penerimaan dan pertemanan yang baik.
“Kita mungkin tidak bisa mengendalikan perasaan, perkataan orang lain yang mungkin membenci kita. Tapi kita bisa mengendalikan diri kita, tetap menjaga prinsip kita, bukan mengubah pendirian, tapi mudah beradaptasi,” ujar Ni Made Ayu.
Senior research fellow di University of Washington Chris Seiple mengatakan ekstremisme ada di semua agama sehingga semua umat beragama bertanggung jawab mengatasi hal itu.
“Peran unik saya dan Anda adalah memikirkan integrasi teologi dan pelibatannya dalam kehidupan publik. Saya sangat senang hadir dalam panel ini karena saya merasa menjadi orang Kristen yang lebih baik dengan hadir di sini,” ujarnya.
Sumber: BeritaSatu.com
BERITA TERKAIT
BERITA TERKINI
PPP Minta Hal Ini ke Megawati jika Sandiaga Tak Dipilih Jadi Cawapres Ganjar
Ganjar Pranowo Berkomitmen Buka Lebih Banyak Peluang Kerja bagi Difabel
Grup SRAJ Dapatkan Pinjaman Rp 500 Miliar dari Indonesia Infrastructure Finance
Penemuan Jenazah Wanita Gegerkan Wisatawan Penangkaran Buaya Mayang Mangurai
Nama Bacawapres Ganjar Mengerucut ke Khofifah, Hasto PDIP: Hanya Bu Mega yang Tahu
5
B-FILES


ASEAN di Tengah Pemburuan Semikonduktor Global
Lili Yan Ing
Perlukah Presiden/Kepala Negara Dihormati?
Guntur Soekarno
Urgensi Mitigasi Risiko Penyelenggara Pemilu 2024
Zaenal Abidin