Jakarta, Beritasatu.com – Setelah lebih dari 75 tahun, pesawat-pesawat milik Indonesia yang terbang di atas Kepulauan Riau dan Natuna akhirnya tidak lagi butuh izin dari Singapura.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (25/1/2022) lalu menuntaskan misinya untuk mengambil alih otoritas kawasan informasi penerbangan atau Flight Information Region (FIR) di area tersebut dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Bintan.
Sejak 2015, atau tahun keduanya sebagai presiden, Jokowi sudah menyatakan tekad untuk mengembalikan FIR Natuna ke Indonesia apa pun risikonya.
Motivasi presiden sah adanya – ini masalah kedaulatan.
Kalau kita sering mendengar jargon “NKRI harga mati!”, maka kemenangan diplomasi kita di Bintan adalah cara paling pas untuk membuktikannya.
Sebetulnya upaya mengembalikan kedaulatan udara itu sudah dimulai sejak era Presiden Soeharto pada 1993, tetapi selalu gagal.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upaya itu disebutkan secara tersirat saja dalam UU nomor 1/2009 tentang penerbangan.
Ironisnya, pada April 2007 pemerintahan SBY juga memenuhi permintaan Singapura untuk menjadikan Pulau Kayu Ara sebagai tempat latihan perang militer Singapura agar perjanjian esktradisi dua negara disetujui.
Beruntung DPR menolak meratifikasi perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura karena keberatan dengan syarat tambahan membiarkan pulau kita jadi sasaran tembak militer Singapura. Terlalu mahal harganya.
Di Bintan, Jokowi bukan hanya mengembalikan kedaulatan udara Riau dan Natuna, tetapi juga mendapatkan perjanjian ekstradisi dari Singapura. Kemenangan ganda.
Aneh
Jika ada pesawat asing masuk wilayah kita tanpa izin, dia dianggap melanggar kedaulatan wilayah Indonesia. Lalu apa sebutan untuk pesawat Indonesia yang harus minta izin Singapura ketika terbang di wilayah Indonesia?
“Aneh bin ajaib!” kata mantan Kepala Staf Angkatan Udara Chappy Hakim.
Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini
Sumber: BeritaSatu.com