Jakarta, Beritasatu.com - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar Christina Aryani mengatakan perjanjian hukum antara Indonesia dan Singapura terkait kesepakatan ekstradisi, pengelolaan ruang udara atau flight information region (FIR) dan pertahanan atau defence cooperation agreement (DCA) bisa berlaku atau diterapkan setelah diratifikasi oleh DPR. Christina mengatakan pihaknya sedang menunggu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirimkan surat presiden (surpres) untuk membahas dan mengesahkan perjanjian internasional tersebut.
“Ratifikasi menjadi syarat agar perjanjian tersebut bisa diimplementasikan,” ujar Christina di Jakarta, Kamis (27/1/2022).
Persetujuan ratifikasi, kata Christina, tidak hanya dari DPR Indonesia, tetapi juga dari anggota legislatif Singapura. Christina pun berharap pengesahan perjanjian kedua negara ini dapat berjalan lancar dan optimal agar tujuan bisa tercapai.
“Harapan kami proses tersebut akan berjalan lancar sehingga tujuan dari perjanjian ekstradisi ini bisa tercapai optimal,” katanya.
Christina mengaku belum mendapatkan salinan perjanjian yang ditandatangani oleh perwakilan kedua negara. Namun, dia berharap, dengan adanya perjanjian tersebut khususnya perjanjian ekstradisi bisa memudahkan proses penegakan hukum. Hal ini mengingat aparat penegak hukum Indonesia selama ini mengalami kesulitan memproses lebih lanjut terpidana atau terdakwa yang bersembunyi atau berlindung di Singapura.
Ratifikasi adalah pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahan undang-undang, perjanjian antarnegara, dan persetujuan hukum internasional. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UUPI) disebutkan pengesahan adalah perbuatan hukum untuk pengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi (ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval).
Ratifikasi dapat dilakukan dalam dua bentuk, yakni pengesahan dengan undang-undang dan pengesahan dengan menggunakan keputusan presiden. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila terkait masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara; perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negata; kedaulatan atau hak berdaulat negara; hak asasi manusia dan lingkungan hidup; pembentukan kaidah hukum baru; dan pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Dalam Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 juga menyebutkan Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan ini kemudian dipertegas dalam putusan MK Nomor 13/PUU-XVI/2018.
Saksikan live streaming program-program BeritaSatu TV di sini
Sumber: BeritaSatu.com