MK Larang Nikah Beda Agama, Gus Yahya: Kita Patuhi Peraturan Hukum
Jakarta, Beritasatu.com - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya angkat bicara soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang nikah beda agama. Dia menyatakan, pihaknya mematuhi putusan hukum dimaksud.
“Ya sampai saat ini posisi kita mematuhi peraturan hukum yang ada,” ujar Gus Yahya di Gedung PBNU, Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Terkait isu dimaksud PBNU memiliki sikap yang sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dijelaskan Gus Yahya, pernikahan beda agama memang tidak dibenarkan di Islam jika merujuk aturan fiqih.
“Kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu misalnya kalau dari pihak laki-laki muslim dan pihak perempuan dari alkitab, itu fiqih resmi,” lanjut dia.
Gus Yahya juga memandang MK sudah menetapkan putusan mengacu pada rujukan yang konstitusional. Namun demikian, dia mengakui belum tahu lebih dalam soal putusan MK dimaksud.
"Karena ini memang soal hukum, soal status hukum dari pernikahan, dari konsekuensi-konsekuensinya terhadap keturunan dan sebagainya. Maka pertimbangannya harus terkait hukum positif yang ada di Indonesia ini seperti apa, konstitusinya seperti apa itu aja," imbuh Gus Yahya.
Diberitakan, Sebelumnya, Majelis Hakim MK menolak gugatan Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan yang diajukan E Ramos Petege. Gugatan diajukan karena Patege gagal meresmikan jalinan asmaranya dengan gadis pujaannya karena perbedaan agama.
Diketahui, pemohon E Ramos Petege merupakan seorang pemeluk Katolik, sementara perempuan yang ingin dinikahinya beragama Islam. "Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Prof Anwar Usman saat membacakan amar putusan perkara di Jakarta, Selasa (31/1/2023).
Hakim MK Prof Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang diakui Indonesia yang kemudian tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusionalitas warga negara.
Meskipun demikian, hak asasi manusia berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa, Ia menjelaskan dalam konteks perkawinan yang menjadi pokok persoalan perkara, terdapat perbedaan konstruksi jaminan perlindungan antara Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan UUD 1945.
Sumber: BeritaSatu.com
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Bagikan