Jakarta - Indonesia dan Australia berbagi kekhawatiran yang sama terkait dengan modernisasi dan peningkatan persenjataan di dunia. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro selesai mengadakan pertemuan antarmenteri pertahanan dan menteri luar negeri kedua negara di Jakarta, Rabu (3/4).
“Kami saling berbagi tentang isu regional seperti Laut China Selatan, Laut India, dan isu-isu global. Termasuk ketegangan dan peningkatan persenjataan di dunia, kami berbagi kekhawatiran yang sama,” ucap Purnomo.
Indonesia dan Australia mengadakan pertemuan “2+2” yakni pertemuan antara Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dengan Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr, dan Menteri Pertahanan Australia Stephen Smith. Pertemuan tahunan antarmenteri itu merupakan bentuk kerjasama pertahanan guna mengatasi masalah politik, keamanan regional, dan bencana alam, serta penyelundupan manusia. Indonesia dan Australia secara rutin menggelar pertemuan dan latihan militer bersama.
Menteri Pertahanan Australia, Stephen Smith menambahkan, hubungan bilateral Indonesia-Australia semakin kuat bahkan dari sebelumnya. Dengan semakin tingginya ketegangan di kawasan Asia, kerjasama pertahanan sangat penting untuk mempertahankan perdamaian, keamanan, dan stabilitas regional.
Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr mengungkapkan kekhawatiran tentang meningkatkan perdagangan senjata ilegal di dunia. Oleh karena itu dibutuhkan aturan tegas untuk mengendalikan perdagangan senjata di dunia, salah satunya dengan membuat Traktat Perdagangan Senjata (ATT) yang telah disetujui oleh Sidang Majelis Umum PBB, Selasa (2/4) malam. Sebanyak 154 negara menyetujui pengesahan ATT, sedangkan tiga negara menentang, dan 23 abstain, termasuk Indonesia.
“Kami adalah salah satu sponsor utama traktat perdagangan senjata ini dan akan menjadi negara pertama yang menandatangani traktat ini. Kami meyakini bahwa membatasi perdagangan senjata ilegal dapat menjaga stabilitas,” ucapnya.
Abstain
Menlu Marty Natalegawa mengatakan Indonesia memberi suara abstain karena menolak salah satu kondisi yang ditetapkan dalam traktat, meski secara manfaat mendukung. Indonesia memandang masih ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan.
“Naskah atau draf memberi kesan penjualan senjata ditentukan atau dipengaruhi oleh kondisionalitas bagi importir senjata dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Penilaian dilakukan oleh negara eksportir alusista, ini memberikan kewenangan penuh secara sepihak pada eksportir untuk menilai terdapat atau tidaknya potensi bahwa transfer senjata digunakan memfasilitasi pelanggaran HAM,” ucapnya.
ATT adalah traktat internasional yang akan mengatur syarat-syarat ekspor senjata konvensional. ATT melarang ekspor senjata kepada negara pelanggar hak asasi manusia.
Ditambahkan Menlu, traktat perdagangan senjata juga berpotensi bertentangan dengan UU No 16/2012 tentang Industri Pertahanan pasal 43 ayat 5. Dalam undang-undang itu Indonesia tidak diperbolehkan mengimpor senjata kecuali untuk beberapa keadaan.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Sumber: Suara Pembaruan