Dengan maraknya konflik lahan antara masyarakat dan industri sawit, Sawit Watch Indonesia, menyerukan adanya legal audit terhadap seluruh penerbitan izin lahan di Indonesia.
Demikian disampaikan Edi Sutrisno, juru kampanye Sawit Watch Indonesia saat berkunjung ke kantor Jakarta Globe, di Jakarta, Kamis (15/3) lalu.
"Legal audit itu diamanatkan oleh UU 32 tahun 2009 (tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup), terutama untuk penerbitan izin, apalagi Amdal (Analisa mengenai Dampak Lingkungan Hidup). UU itu bagus tapi saya tidak yakin bisa diterapkan karena untuk Amdal sendiri, mulai dari komisi-nya, pejabat pemberi izin bisa kena tindak pidana berdasarkan UU tersebut," tegas Edi.
Dia pun mencontohkan carut marutnya perizinan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah. "Di (kabupaten) Seroyan, budaya masyarakat di sana sudah berubah karena sawit. Dari satu juta hektar, hanya 50,000 hektar tersisa untuk masyarakatnya," jelas Edi.
"Untuk perizinan, mereka biasanya hanya mengantongi izin lokasi tanpa HGU (Hak Guna Usaha), padahal jelas-jelas BPN (Badan Pertanahan Nasional) mensyaratkan bahwa kebun kelapa sawit perlu dapatkan HGU terlebih dahulu.
Oleh karena itu, lanjutnya, masyarakat sipil di Indonesia pun menggabungkan diri dalam gerakan pemulihan hak-hak rakyat Indonesia untuk memenangkan kembali hak-hak yang terampas.
"Kita menduga bahwa kebijakan-kebijakan yang dirumuskan oleh wakil rakyat dibisniskan saja karena ada pandangan bahwa kalau toh ditolak akan ada Mahkamah Konstitusi atau masyarakat sipil ajukan judicial review. Jadi, mereka santai-santai saja. Ini yang ingin kita waspadai," jelas Edi.
Dia menambahkan bahwa perkebunan sawit menjadi primadona di daerah namun praktiknya telah terjadi pembodohan terhadap masyarakat karena tanah yang murah, buruh yang murah, dan lingkungan rusak akibat pengolahan limbah yang tidak sesuai.
"Hal ini yang tidak dipertimbangkan. Kita tidak menolak adanya sawit tetapi harus dijalankan dengan baik," tambahnya.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini