Jakarta, Beritasatu.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap Brigjen Pol Prasetijo Utomo dan Irjen Pol Napoleon Bonaparte masih terlalu ringan. ICW menilai vonis ringan itu mengecilkan makna kejahatan korupsi yang dilakukan kedua jenderal polisi tersebut.
"Vonis yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Brigadir Jenderal Polisi Prasetijo Utomo dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte terlalu ringan dan terkesan mengecilkan pemaknaan kejahatan korupsi yang dilakukan oleh dua perwira tinggi Polri tersebut," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Kamis (11/3/2021).
Diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 3 tahun 6 bulan pidana penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap mantan Kabiro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Polri Brigjen Prasetijo Utomo karena terbukti menerima suap USD 100.000 dari terpidana perkara korupsi cessie Bank Bali Djoko Tjandra melalui pengusaha Tommy Sumardi. Sementara Irjen Napoleon yang merupakan mantan Kadiv Hubinter Polri divonis 4 tahun pidana penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan karena terbukti menerima suap USD 370.000 dan SGD 200.000 dari Djoko Tjandra melalui Tommy Sumardi.
Kurnia menyatakan, vonis terhadap Prasetijo Utomo dan Napoleon itu lebih rendah atau sama jika dibandingkan dengan hukuman Jenuri, seorang Kepala Desa Wanakaya, Indramayu, Jawa Barat, pada Desember tahun lalu. Jenuri divonis 4 tahun penjara karena terbukti melakukan praktik korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 168 juta.
"Sedangkan Prasetijo dan Napoleon, dianggap telah menerima dana Rp 8,4 miliar dari Djoko Tjandra malah hanya divonis 3 tahun 6 bulan penjara dan 4 tahun penjara," kata Kurnia.
ICW menilai, hukuman yang pantas dijatuhkan kepada Prasetijo dan Napoleon adalah penjara seumur hidup. Keduanya juga layak diberi sanksi denda sebesar Rp1 miliar. Kurnia membeberkan dasar argumentasinya. Dikatakan, ketika melakukan kejahatannya Prasetijo dan Napoleon mengemban tugas sebagai penegak hukum.
"Tentu, praktik suap-menyuap yang ia lakukan dengan sendirinya meruntuhkan citra Polri di mata masyarakat," kata Kurnia.
Selain itu, Prasetijo dan Napoleon selaku penegak hukum malah bekerja sama dengan buronan. Dalam fakta persidangan terungkap Prasetijo membantu istri Djoko Tjandra membuat surat yang ditembuskan ke Interpol Polri dan juga bersurat ke Anna Boentaran terkait informasi red notice Djoko Tjandra. Sedangkan Napoleon sendiri dianggap terbukti menyurati Dirjen Imigrasi agar status daftar pencarian orang Djoko Tjandra dihapus.
"Kemudian tindakan tercela yang dilakukan oleh keduanya mengakibatkan adanya hambatan dalam proses hukum untuk menjebloskan narapidana Djoko Tjandra ke lembaga pemasyarakatan," tegas Kurnia.
Di sisi lain, ICW juga mempertanyakan landasan putusan Majelis Hakim yang justru menggunakan Pasal 5 ayat (2) UU Tipikor dalam persidangan keduanya. Akibatnya, vonis terdakwa menjadi sangat ringan karena maksimal ancaman dalam pasal itu hanya lima tahun penjara.
"Semestinya Hakim dapat menggunakan Pasal 12 huruf a UU Tipikor, yang mengatur pidana penjara minimal empat tahun dan maksimal seumur hidup," kata Kurnia.
Selain itu, ICW juga mendesak agar Polri melakukan pemberhentian tidak dengan hormat kepada Prasetijo dan Napoleon atas kejahatan yang dilakukan keduanya.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Sumber: BeritaSatu.com