Jakarta, Beritasatu.com - Pendidikan vokasi sangat berpotensi memajukan perekonomian masyarakat desa, khususnya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Pendidikan vokasi yang disesuaikan dengan kondisi riil desa akan memberikan sumber daya manusia berkualitas yang dihadapi BUMDes saat ini.
Mantan Menteri Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Eko Putro Sandjojo mengatakan potensi BUMDes sangat besar. Sayangnya tidak semua desa mempunyai orang yang mempunyai kualifikasi mengelola bidang usaha sehingga tidak semua BUMDes berhasil.
Pernyataannya tersebut disampaikan Eko dalam webinar seri diskusi Riset Keilmuan Terapan Pendidikan Tinggi Vokasi bertajuk “Solusi Riset Terapan Vokasi untuk Pembangunan Ekonomi Desa yang diadakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi" belum lama ini.
Eko melihat beberapa contoh BUMDes yang semula kurang berhasil, ternyata bisa menghasilkan miliaran rupiah dengan penanganan dan pengelolaan yang cocok dengan kondisi desa.
“Ini menunjukkan bagaimana kapasitas sumber daya manusia bisa mengubah masalah (ancaman) menjadi opportunity (peluang),” ujar Eko dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/7/2021).
Menurutnya, semua tergantung kemampuan sumber daya manusia yang ada di desa dan pendampingan. Pendampingan terbaik adalah dengan sektor usaha yang benar-benar mengetahui bidangnya.
Eko menambahkan, pendidikan vokasi juga harus sesuai dengan potensi desa masing-masing.
“Sehingga anak-anak di desa tidak perlu mencari kerja ke daerah lain setelah mendapatkan pendidikan vokasi. Mereka bisa bekerja di daerah dan membangun daerahnya,” ujarnya.
Selain Eko, webinar juga dihadiri Wamendes PDTT Budi Arie Setiadi, Dekan Sekolah Vokasi Institut Pertanian Bogor (IPB) University Arief Daryanto, Tim Program Riset Keilmuan Terapan Kemdikbudristek Otto Purnawarman, dan Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Rika Fatimah.
Dalam paparannya, Wamendes PDTT Budi Arie Setiadi melihat potensi dan kemajuan BUMDes sangat tergantung kondisi anak muda di desa.
“Kemajuan desa dan BUMDesnya tergantung pada kondisi anak mudanya, sumber daya, dan partisipasi masyarakat,” ujarnya.
Menurut Budi, warga desa bukan sekadar penonton pembangunan. “Banyak anak muda membuat potensi maju jauh lebih besar. Jadi beri kesempatan oleh pemerintah desa. Kalau bisa pengelola BUMDes diberikan kepada anak muda,” katanya.
Otto Purnawarman dari Tim Riset Keilmuan Terapan Kemndikbudristek mengatakan, program riset terapan harus berbasis demand driven sehingga berkontribusi dalam menyelesaikan masalah nyata, baik di dunia usaha, industri, dan masyarakat sipil. Masalah yang sehari-hari di masyarakat dan industri bisa terselesaikan.
“Solusi yang diselesaikan riset terapan harus meningkatkan produktivitas, akurasi, efisiensi, efektivitas, dan berkontribusi menyelesaikan masalah ekonomi dan sosial,” katanya.
Selain riset terapan, juga bagaimana kurikulum disusun bersama berbasis kebutuhan industri, pembelajaran berbasis project riil yang dihadapi masyarakat baik dunia usaha dan dunia kerja.
Selain itu juga mewajibkan mahasiswa magang atau melakukan praktik kerja di dunia kerja (industri), bagaimana sertifikasi kompetensi, para dosen/guru/instruktur yang mumpuni, serta komitmen serapan lulusan oleh dunia kerja.
Dekan Sekolah Vokasi IPB University, Arief Daryanto, melihat banyak peluang bagi riset terapan vokasi untuk menggunakan potensi BUMDes yang besar di pedesaan dan sekaligus menyelesaikan tantangannya.
“Jadi pembelajaran harus demand driven dan kurikulum kualitas vokasi harus berbasis outcome base education di mana outcome-nya harus dirumuskan sejak awal,” ujar Arief.
Selain itu perlunya assurance of learning dikembangkan di pendidikan vokasi.
“Sehingga jika nanti para lulusan belum mencapai learning outcome kita harus kontemplasi apa yang yang dilakukan untuk mengembangkan learning outcome yang benar-benar dibutuhkan oleh industri baik bersifat hardskill maupun softskill,” katanya.
Intinya, adalah bagaimana ke depan pendidikan vokasi bisa menyehatkan BUMDes, baik dari sisi organisasi, finansial, akses market, dan network.
“BUMDes yang kuat harus sehat operasinya, sehat pasarnya, sehat organisasinya, dan sehat jejaringnya,” ujarnya.
Namun Arief mengingatkan pendidikan vokasi sangat berbeda, sehingga tergantung pada masing-masing lembaga untuk mengembangkannya, disesuaikan kebutuhan masyarakat desa.
Hal senada diungkapkan Rika Fatimah, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Ia melihat perspektif ekonomi dan besaran BUMDes sangatlah berbeda dengan usaha lain, seperti UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah).
“Ia bukanlah UMKM, BUMDes memiliki karakteristik luar biasa, inilah ekonominya Indonesia,” katanya.
Menurutnya, Indonesia harus berani menunjukkan kebaruannya, benar-benar berpijak di kaki sendiri karena apa yang dilakukan di negara lain belum tentu cocok dengan di Indonesia.
“Model bisnis BUMDes harus berbeda dengan kebanyakan UMKM,” ujarnya.
Ia mengatakan, produk unggulan BUMDes harus terbatas, supaya tercipta ikon-ikon khas Indonesia, suatu kebaruan dan harus berkelanjutan.
“Kalau BUMDes ikut-ikutan melakukan semua, akhirnya nothing,” ujarnya.
Karena itu, ia melihat riset yang sangat dekat dengan vokasi, tentu akan menghasilkan program yang tepat. Namun riset terapan perlu memperhatikan keunikan masing-masing BUMDes.
“BUMDes mewadahi dan membuat bagaimana ekosistem di desa subur untuk UMKM berkembang dan bukannya head to head dengan UMKM,” katanya.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Sumber: BeritaSatu.com